Sudah terhitung dua minggu lamanya, Luna mengekori Daksa untuk menjadi model banner peraturan seragam. Salah satu proker osisnya.
Sudah dua minggu juga, Daksa selalu menolak mentah-mentah permintaan Luna.
Bahkan teman-teman Daksa dan juga beberapa murid SMA Bhumika, sudah tidak heran melihat Luna yang mengejar-ngejar Daksa. Mereka mengakui mental Luna sangat kuat.
Manusia normal mana emangnya yang mau berurusan dengan pentolan SMA Bhumika itu. Cuman Luna. Untung saja Daksa tidak memakan cewek itu.
"Kata gue lo nyerah aja Lun", Namira membuka snack yang baru saja dia beli di kantin tadi.
"Iya, tapi hari ini terakhir, aku minta ke kak Daksa."
"Kalau kak Daksa nggak mau, aku nyerah aja deh."
"Capek, mending disuruh gantiin pak Mamat jadi satpam."
Namira menatap miris sahabatnya ini, kasihan juga. Sehabis ini, ia harus mengantarkan Luna ke psikolog.
"Benar."
"Kak Daksa ganteng, tapi masih ada kok yang ganteng."
"Walaupun enggak ada yang seganteng kak Daksa sih", Namira sungguh tidak konsisten.
"Apa aku keluar aja yah dari osis?" Lengkungan pada bibir bawah cewek itu terlihat.
"Janganlah bego."
"Uang osis kita disekolah ini lumayan mahal. Kalau kita jadi anggota kan enak kagak bayar."
Memang menjadi osis di SMA Bhumika merupakan salah satu privilege, dari mulai jadi famous, dikenal guru, sampai tidak membayar uang osis.
Singkatnya, para anggota osis hanya membayar uang sekolah setengahnya saja.
"Iya juga yah."
Luna masuk osis bersaing dengan puluhan murid, sayang kalau ia sampai keluar sekarang, hanya gara-gara Daksa, kakak kelas songong itu.
"Semangat Luna sayang."
[ D A K S A ]
Bel pulang sudah berbunyi dari 10 menit yang lalu. Beberapa murid masih berada dilingkungan sekolah, ada yang masih akan melanjutkan eskul dan ada juga yang baru selesai kelas, karena gurunya telat keluar.
Kelas X IPA 3, telat keluar kelas karena alasan kedua. Pelajaram terakhir mereka baru saja berakhir tadi.
"Tuh guru, benar benar yak, jatah bobo siang gue berkurang dah."
"Lo pulang naik angkot?" Tanya Namira pada Luna.
"Iyalah, masa naik kuda."
"Garing anjir."
"Nebeng gue kagak?"
"Enggak usah deh, hari ini aku mau langsung ke toko bunga aja", Luna merapikan tasnya.
"Gapapa, gue anterin."
"Enggak usah, kamu pulang aja, aku udah biasa kok."
Bukannya apa, arah rumah Namira dan toko bunga itu berlawanan. Kasihan juga temannya ini jika harus bolak balik.
"Bener nih yah? Gapapa gue tinggal?"
"Iya enggak apa-apa."
Sepeninggalnya Namira, Luna berjalan menuju halte bus didepan sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA
Ficção AdolescenteRaden Daksa Wardhana. Mendengar namanya saja sudah bisa membuat warga SMA Bhumika bergidik ngeri. Berandalan terkenal seantero sekolah, yang sayangnya sangat tampan. Daksa. Satu nama yang amat dihindari oleh siswa-siswi SMA Bhumika, termasuk Lun...