Selamat membaca
..
.
.
.
.
.
.
.
.Seorang laki-laki sedang menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, mengelap piring-piring yang sebelumnya sudah ia cuci.
"Sedikit lagi, setelah ini bisa pulang," celetuknya sembari tersenyum saat melihat setumpuk piring yang tersisa.
Tiba-tiba suara ribut mengganggu konsentrasinya mengelap para piring, "Heh, Lu semua belum ngasih kita dari minggu kemarin ya! Cepet kasih sekarang!"
Alis laki-laki itu mengkerut begitu ia mengenali suara bariton seseorang yang sangat familiar ditelinganya. Kemudian dibuat terlonjak disepersekian detik berikutnya. Ketika pintu dapur dibuka dengan kasar begitu saja. Wujud seorang preman berbadan kekar langsung terlihat oleh pandangannya.
"Eh Zio, Lu kerja disini? disuruh orang panti ya? Hahahaha," Tak disangka preman itu menyapa laki-laki ini, yang tak lain adalah Zio. Dengan sok akrab dan setengah berteriak menghampiri, lalu menepuk pundak Zio sedikit keras.
"Bang Al ngagetin ah, masih narikin uang warga Lu? ati-ati loh bang, dosa Lu numpuk segunung noh lama-lama," Ujar Zio menyahuti dan sedikit menasehati.
"Gini-gini, gue yang ngajarin Elu maen motor ya cil! Udah jago, menang, dapet duit lagi. Berterimakasih Lu!"
"Iya-iya, Makasih Bang Al. Tapi kalok ada event jangan lupa bilang gue ya,"
"Hmm, Eh cil, setelah ini Lu mau langsung pulang? Sabi kalik nemenin gue makan di warungnya Bang Soni. Tenang, gue traktir," Tak ada angin tak ada hujan, tumben sekali Bang Al yang terkenal pelit itu, mengajak Zio makan plus ditraktir. Mungkin ini hari keberuntungan Zio. Dengan senang hati ia mengiyakan ajakan Bang Al.
"Yaudah, gue tunggu di depan. Awas Lu lama-lama," ucap Bang Al berlalu begitu saja.
Maaf.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Zio segera membereskan kerjaannya dengan semangat. Kemudian melapor pada bosnya jika pekerjaannya sudah selesai sekaligus berpamitan.
Di atas motor Bang Al, Zio bersenandung kecil dengan hati senang. Alan as Bang Al hanya diam mendengar senandung bahagia anak di boncengannya. Hatinya berdegup kencang membayangkan hal apa yang akan terjadi setelah ini. Stang motor dibelokkan kesebuah bangunan bernuansa vintage. Sosok pemuda dibelakang Alan masih juga tak menyadari kemana Alan membawanya di tengah malam seperti ini.
Alan menjagangkan motornya setelah berhenti tepat dilahan parkir bangunan, tempat orang-orang menghabiskan waktu untuk bersantai ditemani berbagai hidangan yang ditawarkan.
"Ayo," ucapnya menggandeng tangan Zio.
"Ini warung Bang Soni? Ini mah bukan warung Bang, tapi cafe." Matanya berbinar melihat-lihat interior cafe yang tertata rapi dan Instagramable sekali. Tak menyangka Bang Al mampu mentraktir di tempat seperti ini. Yang pastinya tidak cukup dengan uang 50 ribu untuk dua porsi makan.
"Iya, Soni emang suka gitu kalok ngomongin warungnya. Merendah," sahut Alan menanggapi.
"Astaga, bukan warung tapi cafe," ucap Zio mengoreksi.
"Eh udah nyampe Lu, ini anaknya?"
"Iya, gimana?"
Laki-laki yang sepertinya berusia sepantaran dengan Alan, mengangguk-anggukkan kepalanya. Menarik Alan untuk menjauh sedikit dari Zio, yang memasang wajah bingung.
"Kamu di sini dulu ya nak, om pinjem Alan nya sebentar," Mendengar itu, Zio mengangguk samar. Rasa bingungnya belum menghilang, ditambah lagi mendengar suara lembut dan sopan teman Bang Al yang sangat bertolak belakang dengan sosok Bang Al yang ia kenal.
Tak lama setelah ia ditinggal sendiri oleh Bang Al dan satu orang lagi yang ia tidak tahu namanya, Senampan makanan di antar atas namanya. Mulai dari makanan pembuka, makanan utama hingga makanan penutup. Air liurnya seolah berlomba lomba keluar dibuatnya.
"Ini makanan untuk saya? Tapi saya belum pesan mas,"
"Iya, ini sudah dipesankan langsung oleh Pak Soni, kak,"
"Kalau begitu terimakasih ya mas,"
Tanpa menunggu Bang Al yang tidak ada kepastian kapan datangnya, ia segera menyantap makanannya. Lagi pula Bang Al pasti tidak keberatan jika ia makan dulu. Mengingat perutnya yang sudah berteriak-teriak minta diisi.
Ugh
Beberapa saat kemudian makanan Zio habis tak tersisa disusul suara sendawa yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa, matanya sangat berat setelah ia menyuapkan sendok terakhir makanan penutup. Zio menyelehkan kepalanya dimeja, berkeinginan untuk tidur sebentar hingga Bang Al kembali.
Saat matanya tinggal segaris hampir tertutup, siluet laki-laki berperawakan besar kekar muncul tepat di depannya. Tak terlalu jelas parasnya. Hanya satu yang ia ingat, balutan jas mahal yang melekat apik di tubuhnya.
Tak sempat membuka mata lebih lebar, rasa kantuk mengalahkannya. Zio berakhir tertidur di kursi cafe.
"Kemari sekarang!" pesan terakhir yang mengakhiri telepon si pria berjas.
Dua orang yang sebelumnya bersembunyi di balik tembok dapur akhirnya keluar. Setelah memastikan targetnya sudah tertidur dibawah pengaruh obat yang sengaja mereka masukkan kedalam makanannya. Yang tidak lain dan tidak bukan, Zio.
"Terimakasih Alan, uangmu sudah saya transfer. Tutup mulut jika kau tetap ingin hidup tenang," ucap pria itu kemudian berlalu pergi bersama Soni, setelah beberapa pria dengan pakaian yang sama datang dan membawa tubuh Zio pergi dari cafe itu.
Meninggalkan Alan yang masih menunduk dengan sorot mata yang menyendu. Ia tak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi, begitupun dengan apa yang baru saja dia lakukan.
"Semua akan baik-baik saja... I-iya, semua akan berjalan seperti biasanya," setelah berucap demikian, Alan menangkup wajahnya untuk menyembunyikan air matanya yang terus berjatuhan.
_________________________________
~EZIO~
__________________________________
HAI!!😄
Aku comeback lagi dengan bab baru Zio nih.
Setelah sekian lama tidak update 😞 maaf ya readers..Aku bakal terus berusaha untuk update terus kok. Kita tamatkan si Zio! tapi sambil agak ngaret, hehehe😅
Pokoknya jangan lupa vote kalau kalian suka, dan komenin bagian typo atau yang kurang pas. Kita sama-sama belajar menulis yang baik.
Segitu aja, and stay tuned...
Babay👋👋 pauuuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
EZIO
Random"Dia orang tuamu." "Ha?" "Saya Ayahmu." "Ha?" "What the fuck does he mean, ha?" -- berbisik pada bawahannya. ######################## Ezio yang sejak kecil tinggal di panti asuhan tempatnya tinggal, selalu mengagumi tempat yang disebut rumah. Berbe...