Bab 8

4.2K 259 1
                                    

Selamat membaca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Zio terbangun di atas bangsal sebuah ruangan bercat putih. Luas mata memandang, hanya warna putih yang terlihat. Sejauh mata Zio memandang, hanya ada ruang putih tak berujung. Ia sendiri disini, tidak sih, ada satu bangsal dan nakas berisi obat-obatan di sisinya. Apa ini mimpi? Kalau begitu Zio harus segera bangun.

Tapi tunggu dulu, kalau ini mimpi seharusnya ia bisa melakukannya apapun yang ia mau kan?

"Aaaaaaa," dia berteriak sekencang mungkin untuk mengetes jika ini benar-benar mimpi.

"Oke waktunya bangun," ia merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba memejamkan mata, kembali tidur untuk bangun lagi.

Tapi matanya seperti diganjal agar tidak tertutup.

"Ezio," suara berbisik terdengar.

"Iya?" mau tak mau Ezio akhirnya menjawabnya.

"Ezio," suara itu kembali terdengar.

"Apasih, nggak jelas banget. Iya," Ezio pun menggerutu sambil tetap menanggapi.

Suaranya hilang, menyisakan kekosongan dan seram di ruangan putih itu. Ezio berdiri lalu berlari untuk memastikan seberapa luas ruangan putih ini. Ternyata panjang sekali ruangan ini. Zio sampai lelah sendiri berlari.

Entah di langkah yang ke beberapa, ia melihat bayang-bayang pria berjas yang familiar. Matanya menyipit mencoba melihat wajahnya yang memudar.

"Permisi," panggil Zio pada pria itu.

"Pak, anda mendengarku? Halo?" merasa sia-sia, Zio melangkah semakin dekat pada orang tersebut.

Namun, belum sempat mendekat. Pria itu sudah menghilang seperti debu yang tertiup angin. Melihat itu, seketika bulu kuduk Zio berdiri. Apa-apaan itu barusan, kenapa suasananya jadi horor?

Blam

Ezio tersentak keras ketika merasa dirinya baru saja dilempar dari ketinggian alam mimpi. Dan terbangun ditempat tidurnya. Padahal ia hanya membalikkan badannya, tapi rasanya seperti jatuh dari kasur. Karena itu jantungnya berdebar-debar sekarang.

"Huf..hahh," Ezio menarik napas dan membuangnya perlahan guna menetralkan degupan jantungnya.

Netranya beredar mengelilingi seluruh penjuru ruangan. Untuk memastikan dunia yang ditempati asli atau mimpi lagi. Temboknya bewarna abu-abu, ada terdapat beberapa bagian yang mengelupas dipermukaan tembok. Plafon yang berbahan dasar triplek juga menandakan keaslian dunia ini. Syukurlah ini kamarnya dipanti.

Sebenarnya Zio sedikit bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi semalam. Ia hanya ingat, jika makanannya sangat lezat dan berhasil membuatnya ingin terus-menerus memakannya. Apalagi rasa kenyang yang sudah lama tidak ia rasakan. Apa ia ketiduran, sampai membuat Bang Al repot-repot menggendongnya pulang. Sial sekali, Zio malu. Ia sudah cocok disebut tidak tahu diri sekarang. Sudah di traktir, merepotkan lagi.

Mau ditaruh mana mukanya jika bertemu Bang Al nanti?

Karena merasa semakin malu memikirkannya, Ezio akhirnya beranjak turun dari kasur tingkatnya itu. Langit masih berwarna gelap. Terlihat olehnya, beberapa anak masih tertidur lelap. Termasuk juga anak yang menempati kasur dibawahnya. Setahu Zio anak ini masih tergolong baru dipanti. Dia dikirim kesini setelah terjaring razia petugas satpol PP dengan status anak terlantar. Sosoknya yang cukup tertutup, membuat Zio agak sungkan untuk menyapanya atau mengajaknya berkenalan

Zio berniat untuk mandi, lalu membaca sebentar materi yang akan diajarkan gurunya nanti.

"Zio, apa kemarin kamu dapat upah harian?"

Baru saja Zio menduduki kursi belajar, ibu panti tiba-tiba bersuara dan mengagetkannya.

"Zio tidak digaji harian bu," jawabnya lirih.

"Huft, sebenarnya ibu ingin meminjam sebentar uang kamu. Adik-adikmu merengek bosan dengan lauk yang itu-itu saja," jabarnya dengan raut sedih.

Mendengar keluhan ibu panti membuat Zio iba, "Kalau memang mendesak, Zio masih punya uang simpanan sedikit. Ibu bisa menggunakannya," ujarnya lalu berjalan ketempat dompetnya berada.

"Maaf bu, tapi hanya ini yang Zio punya, sisa dari Zio bayar buku kemarin," ucapnya dengan tangan yang mengulurkan selembar uang bernilai seratus ribu.

"Terimakasih sayang, adik-adikmu pasti senang mendapat lauk baru," ibu panti memeluk Zio setelah berterimakasih.

Zio hanya mengangguk sambil tersenyum. Rasanya lega, sekaligus ngilu saat melihat dompetnya yang berubah kosong melompong.
Tidak papa, Zio ikhlas. Dia akan mengulik sedikit kantong saku baju-bajunya untuk mengais pecahan uang yang menyelip.

****

Sesampainya disekolah, Zio harus berlari ke kelas setelah mendengar bunyi bel masuk. Hari ini Zio memutuskan naik angkutan umum untuk menghemat biaya. Beruntung ia menemukan beberapa uang pecahan yang terselip di kantong-kantong baju maupun celananya. Walaupun tidak banyak, setidaknya uang itu masih cukup untuk biaya pulang pergi ke sekolah.

"Hah..hah..permisi bu, maaf saya terlambat," kelasnya yang berada jauh dari gerbang sekolah membuat Zio harus buru-buru lari agar tidak terlambat masuk kelas. Tapi mungkin hari ini ia sedang sial. Guru mapel sudah duduk manis dikelasnya.

"Tidak papa, tapi silahkan kamu hormat didepan bendera sampai jam pelajaran saya habis, mengerti!" guru yang terkenal galak itu tidak menunjukkan nada marah. Nadanya memang terkesan santai namun tegas secara bersamaan.

Zio hanya bisa pasrah merutuki ketidaksiplinannya. Ia berjalan lunglai ketengah lapangan untuk menjalankan hukumannya. Tentu setelah menaruh tas di kursinya. Tidak mungkinkan, ia hormat ketiang bendera sambil menenteng-nenteng tasnya ditengah terik matahari yang kian menyengat. Yang ada dia akan kembali merepotkan petugas UKS karena berujung pingsan.

Hari ini mungkin akan sangat panjang ya Ezio!

_________________________________

~EZIO~
_________________________________


Jangan lupa vote kalau suka!❤️










EZIO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang