Bab 16

2.7K 179 5
                                    

Selamat membaca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Aku bangun dulu ya bu"

Fira masih tetap berusaha tenang ketika perlahan Ezio menyerahkan kesadarannya. Tangannya terulur menekan tombol yang hanya digunakan sewaktu-waktu keadaan darurat saja. Kemudian menyingkirkan rambut yang hampir menutup mata Ezio. Seringkali Fira melihat kearah pintu, berharap dokter segera datang dan menolong Ezio.

"Sebenarnya kamu kenapa, nak"

👾👾👾

Tatapan sendu Fira mewakili keprihatinannya tentang kondisi Ezio. Kalau dia barang, Fira tidak tahu lagi serusak apa Ezio. Fisik dan psikisnya seperti berlomba-lomba mencapai batasnya. Dokter bilang, Ezio tidak pernah bisa sembuh, dan hanya akan semakin memburuk seiring berjalannya waktu.

"Maaf, kami terlambat menyelamatkan kalian." Perlakuan buruk para pengurus panti asuhan membawa berbagai kerugian untuk orang lain. Termasuk anak-anak yang mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari mereka.
Dana tidak pernah tersalurkan dengan baik. Mereka seperti tidak terurus. Sayangnya itu semua baru terendus bertahun-tahun kemudian setelah para manusia busuk itu menimbulkan lebih banyak kerugian."

"Ezio, ibu harus kembali ke panti. Kamu sama suster dulu." tak lupa setelah itu Fira mengusap perlahan rambut yang hampir menutupi mata anak itu.

"Suster, saya titip Zio." dibalas anggukan mantap dari para perawat yang kebetulan sedang shift malam.

👾👾👾

"Datanglah." panggilan telepon baru saja dihubungkan dan diputuskan tak lama kemudian. Tampaknya si penelpon hanya perlu mengatakan perintah itu saja. Tidak peduli penerima telepon diseberang menyanggupinya atau tidak. Tapi yang dia tahu dengan jelas, orang itu pasti tengah mengumpatinya sekarang. Dia tidak perlu terkejut lagi dengan tingkah anak durhaka itu.

"Apa-apaan, opung ini." Gumamnya, tak ayal segera tancap gas menuju lokasi si penelpon tidak tahu diri.

Srak

Sebuah map dilempar dari sisi lain meja panjang kapada orang yang berada di sebrangnya. "Apasih mau mu, ayah? jangan bertingkah seperti ABG."

"Aku tidak perlu mendengar ocehan tidak bermutumu, Merqeen. Dan dokumen itu, adalah sebuah pengakuan."

Sret

"Ini... " pemuda itu berdiri tiba-tiba dari kursinya. Seulas senyuman terbit dari bibir yang sedari tadi terkatup rapat. Rasa senang tak terjabarkan, meletup-letup dari dirinya. Merqeen seperti baru saja mencapai harapannya nya dari beberapa tahun lalu yang tak henti-henti ia panjatkan.

Laki-laki yang hampir menginjak usia 50 tahun datang menghampiri Merqeen dan tanpa aba-aba memeluknya erat.

"Maafkan aku, karena terlambat memberi tahumu." Tatapan penuh tanda tanya dilayangkan pada laki-laki hampir setengah abad itu.

"Jadi aku yang terakhir?" ujarnya dengan tatapan yang dibuat seolah-olah, sangat kecewa. Kemudian terkekeh menggelitik.

"Kau salah, ayah. Aku bahkan sudah memeluknya lebih dulu dari dirimu."

"Apa?!"

"Kau pasti sangat sibuk akhir-akhir ini, sampai tidak terlalu memperhatikannya."

"Dan selama itu pula, adikku mengalami banyak hal berat."

Memang benar, Steven terlalu bersemangat mencari jejak anak bungsunya yang semakin terlihat titik terangnya. Dan selama itu pula, ia hanya beberapa kali mengawasi anak yang dicurigai sebagai anak bungsunya.

EZIO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang