Bab 9

3.9K 239 1
                                    

Selamat membaca
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Terpantau sudah hampir setengah jam mata pelajaran pertama berhasil dilewati Ezio di tengah teriknya matahari. Ia akui ini cukup menyiksa bagi orang penyakitan sepertinya. Karena tubuhnya dituntut untuk jangan terlalu kelelahan. Atau hal itu akan mempengaruhi kesehatannya. Setidaknya hanya itu yang ia ingat dari ucapan dokter beberapa waktu yang lalu.

Memang setiap enam bulan sekali, anak-anak panti asuhan mendapat jadwal check up kesehatan mereka. Walaupun terkadang waktunya diundur undur, mereka tetap mendapatkan jatah check up setidaknya dua kali setahun.

Ezio sendiri juga mendapatkannya, termasuk obat-obatan yang seharusnya rutin ia minum. Namun karena kesadarannya sendiri mengenai biaya, obat itu menjelma menjadi obat dikala kambuh saja.

Matanya sudah melayu sedari tadi. Padahal ini masih tergolong pagi, tapi hawanya sudah panas. Hitung-hitung Zio mendapat vitamin D dari sinar matahari yang akan menyehatkan badannya. Tangannya juga sudah pegal, mengingat posisi hormat tidak diturunkan dari dua puluh menit yang lalu.

Sementara diujung lorong yang mengelilingi lapangan, dua orang murid laki-laki tengah berjalan santai tanpa menghiraukan jam yang menunjukkan KBM sudah dimulai sedari tadi. Mereka masih saja bergurau dan mengobrol tanpa takut ketahuan oleh guru kesiswaan. Tapi tunggu! Mereka melangkah masuk kedalam kelas yang sama seperti Ezio. Tampaknya Ezio akan mendapat teman di lapangan. Baguslah Ezio tidak akan melewati hukuman ini sendiri nanti.

Guru yang mengajar di kelas Ezio menunjukkan ekspresi yang sama seperti ekspresinya menanggapi Ezio tadi. Tapi bedanya, dua orang itu hanya mendapat ceramah tanpa diberi sanksi sedikitpun. Bahkan mereka terlihat menyepelekan ceramah panjang lebar dari guru tersebut. Bukankah ini tidak adil? Seharusnya Zio juga mendapatkan ceramah itu tanpa harus dihukum berdiri hormat pada bendera selama dua jam pelajaran. Itu terhitung dua kali empat puluh lima menit. Waktu yang lama hingga bisa membuat kulit Zio terbakar.

Tak ada yang protes dengan perlakuan berbeda, Ezio dan dua siswa itu dapatkan. Tapi, ada dua sahabat Ezio yang saat ini sedang saling menyenggol satu sama lain.

"Gimana nih, Ezio udah di sana dua puluh menit. Gw takut dia kenapa-kenapa," bisik Regan kepada Jojo yang masih duduk tenang menatap fokus ke depan.

"Diem dulu, kita awasi Zio. Kalau nanti dia udah keliatan mau tepar, kita bilang ke Bu guru," jawab Jojo tanpa mengalihkan pandangannya.

"Jo, gimana kalo Zio kambuh lagi? Gw masih trauma ngeliat dia kayak ikan terdampar," ucapan Regan membuat jojo berdecak ringan. Ia juga khawatir dengan sahabat barunya itu. Tapi, ia tidak boleh mengesampingkan kesalahan Zio yang sudah terlambat.

"Sebenarnya dia sakit apa sih Re? dia ada asma? atau apa?" tanya jojo beruntun.

"Gw ga tau, Zio nggak bilang apa-apa. Dia juga enggan buat ngasih tau. Tapi seenggaknya kita tau, Zio agak sakit kan?" jawab Regan masih tetap berbisik untuk meminimalisir ketahuan si Guru pemarah.

huh

helaan nafas terdengar dari Jojo. Ia masih tetap bertahan dengan argumennya tadi. Zio hanya harus diawasi sampai batasnya.

Di pandangannya, Ezio tidak terlihat sakit. Dia sehat seperti yang lain. Jikapun iya, dia pasti tahu sejauh mana tubuhnya dapat bertahan. Berdiri, hormat, dan mendongak dalam waktu yang lama, pasti berat dan membuatnya jera. Sahabatnya tidak akan terlambat lagi nanti.

EZIO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang