fourteen: 23 Januari

116 33 2
                                    

"Muka kamu murung terus, kenapa sih? Ada masalah, sini cerita."

Aku menggeleng dengan senyuman yang dipaksakan. Semoga mas Leo mengerti, bahwa aku sedang tidak ingin diajak berbagi cerita.

Dan ya, Mas Leo mengerti. Dia memilih untuk mencari topik yang lain. Mas Leo mengajakku untuk ke kolam ikan yang ada ditaman, dimana sore ini, sehabis berkeliling kota bekasi, kita memilih singgah ditaman kota.

Mas Leo memberikan makanan ikan yang ia beli dari penjual yang tak jauh dari tempat kita berdiri.

"Mungkin, berinteraksi sama ikan bisa bikin kamu tenang, Wi." Kata mas Leo.

Aku tersenyum. "Makasih, mas."

Kalau saja, aku menyukai mas Leo, pasti cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dan, mengapa ketika aku mulai sadar kalau perasaanku semakin membesar untuk mas Dipta, aku jadi tidak bisa membuka hati untuk orang lain?

Aku jadi, susah untuk menerima keberadaan orang baru. Bahkan, mengenal mas Leo sudah hampir sebulan dan kita selalu menghabisi waktu berdua, aku tetap saja tidak bisa menerima mas Leo.

Kemarin, mas Leo sudah melamarku menjadi kekasihnya. Namun, ku tolak secara baik baik. Mas Leo mengerti dan katanya akan menunggu.

Aku takut, mas Leo menunggu lama dan aku membuatnya kecewa.

"Liat deh, ikan itu." Kata mas Leo menunjuk sepasang ikan berwarna oren dan putih.

"Romantis ya?" Sambung mas Leo dengan senyuman manisnya.

Aku menatap mas Leo sebelum mengalihkan tatapanku ketika mas Leo melirikku. Aku tersenyum tipis.

"Ikan aja bisa romantis." Ucapku dengan kekehan kecil.

"Kamu kapan?" Tanya mas Leo yang terdengar sangat menyebalkan ditelingaku.

Aku mendelik. "Kapan Tuhan kasih aku pasangan." Jawabku dengan ketus.

Mas Leo tertawa, lalu ia berkata dengan pelan. "Tuhan udah kirim tapi kamu malah nolak."

Aku tau siapa yang dimaksud mas Leo, itu dirinya sendiri. Bukan aku menolak, tapi aku tidak mau membuat mas Leo menjadi second choice karna aku tidak bisa mendapatkan mas Dipta.

Aku hanya tersenyum, tidak membalas dengan kata. Aku takut salah berbicara dan yang nantinya membuat mas Leo tersinggung.

"Minggu depan aku udah balik ke jakarta, mas Leo gimana?" Tanyaku.

"Sama. Minggu depan aku juga udah balik ke jakarta, gimana kalau bareng aja?"

Aku menoleh. "Mas pulang pakai apa?"

"Pakai mobil,"

"Pulang sendiri, mas?"

Mas Leo tampak berpikir. "Enggak sih, aku kesini kan sama adek sepupu. Jadi, berdua. Kalau kamu mau numpang, gak papa. Adek sepupu'ku cewek kok." Katanya.

Aku berpikir sejenak. "Gak ngerepotin, mas?"

Mas Leo menggeleng. "Enggak sama sekali. Aku malah seneng bisa bareng sama kamu. Jadi gak takut kamu kenapa napa."

Aku tersenyum, bagiku, mas Leo itu sama seperti mas Fajar. Dia perhatian dan sangat peduli, dia juga bukan pemaksa dan selalu mengerti keadaanku. Ah, seandainya mas Leo itu adalah mas Dipta, mungkin sudah ku tarik ke KUA.

Eh, ngomong ngomong, Mas leo sudah bertemu dengan mas Fajar lho. Awalnya sih, mas Fajar tidak setuju dengan mas Leo. Tapi, lama kelamaan, mas Fajar pasrah dan setuju.

Mas Fajar bahkan mewanti wanti mas Leo untuk tidak berbuat hal hal buruk padaku. Kalau sampai itu terjadi, maka nyawa mas Leo lah yang jadi taruhannya.

Mas Fajar itu, kalau ngomong gak pernah bercanda. Kalau udah keluar dari mulutnya, berarti itu serius, gak bercanda.

Challenge in December || END✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang