sixteen: nasi padang & gengsi

126 39 0
                                    

Aku menghela napas, sepertinya perutku tidak mendukungku untuk mengurung diri didalam kamar. Dia terus saja meronta ronta minta diisi.

Aku sekuat tenaga menahan tapi perutku tidak mau kalah, pada akhirnya pun aku menyerah. Siang menjelang sore ini, aku keluar rumah dengan keadaan berantakkan.

Kedua mata yang sembab, hidung memerah dan rambut sebagian terlihat acak acakkan. Bahkan baju yang ku kenakan tadi untuk bertemu dengan orang tua mas Leo masih ku pakai dan kini terlihat kusut.

Aku berdecak tak peduli, memangnya ini penting? Yang penting hanya perutku sekarang.

Aku menoleh ke kanan dan kekiri, tak ku temukan sosok mas Fajar dan bunda. "Kemana bunda sama mas Fajar?"

Aku pun melangkahkan kaki menuju kamar mas Fajar yang persis disebelah kamarku. Saat ku buka, tidak ada mas Fajar. Lalu aku beralih ke kamar bunda, sama seperti kamar mas Fajar. Kosong dan tidak ada bunda.

Dahiku mengeryit sekilas lalu bergidik bahu. Rumah sepi itu malahan bagus untukku. Aku bisa bebas untuk melakukan apapun tanpa ada yang bertanya atau melihat keadaanku.

Aku berjalan menuju dapur, saat ku buka tudung saji yang biasanya menutupi lauk pauk bunda, tidak ada apapun didalam sana.

Aku menghela napas, dan melangkah kearah laci laci penyimpanan makanan. Aku membuka salah satunya, dan boom. Tidak ada apapun.

Aku mengerucutkan bibir sedih. "Kok gak ada apa apa sih?"

Aku menutup lacinya dan membuka laci satunya lagi. Senyumku terbit saat melihat sebungkus mie instant kuah rasa soto.

Aaaa! Senang sekali rasanya. Ku peluk peluk mie itu dan ku cium cium. Berasa baru saja menemukan berlian dipinggir jalan.

Segera ku siapkan panci dan air untuk merebusnya, lalu ku buka bungkusan mie-nya dan mengeluarkan bumbu-bumbunya.

Saat aku akan menuangkan bumbunya, samar samarku dengar suara langkah kaki dan suara benda yang diletakkan dimeja bar. Ku kira itu bunda atau mas fajar, jadi aku abaikan saja.

Namun, perkiraanku salah.

"Kamu masak mie instant?"

Tanganku berhenti bergerak, mataku melotot da terdengar suara langkah kaki mendekat kearahku.

"Aku nanya lho, Juw."

Aku tersadar dan segera bersikap biasa biasa saja. Aku hanya diam, tidak menjawab dan memfokuskan mataku ke bumbu-bumbu yang entah kenapa jadi sulit dibuka.

"Juw? Kamu marah sama aku?"

Kalau aku jawab iya, mas Dipta akan jawab apa? Jadi penasaran.

"Enggak." Jawabku.

Ck, jawab iya aja kenapa sih, Juwi?!

"Terus, kenapa akhir akhir ini kamu jauhin aku? Kalau ketemu pun, biasanya kamu nyapa. Tapi, akhir akhir ini kamu keliatan gak anggap aku itu ada."

"Kamu kenapa?"

Spontan aku menjauhkan kepalaku saat mas Dipta akan menyentuh. Aku tau, dia sadar saat melihat mataku sembab. Tapi, plis deh! Gak usah sentuh sentuh. Nanti kalau jantungku copot bagaimana?!

"Habis nangis? Kenapa? Ada masalah?" Tanyanya bertubi tubi.

Ini yang tidak ku suka dari laki laki. Dia pandai mengambil hati kita dengan beribu ribu perhatian, namun dia juga pandai menyakiti hati kita dengan pengakuannya bahwa dia tidak menyukai kita.

Kenapa sih, perempuan selalu tersakiti?! Nanti kalau laki laki disakiti, malah bikin story, caption: trauma sama wanita membuatku tidak ingin kembali menjalin hubungan. Halah jambu monyet! Dua hari tiga hari setelah putus pun udah dapet yang baru.

Challenge in December || END✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang