Malam itu, jalanan Seoul berubah menjadi pemandangan yang mencekam. Sebuah tabrakan besar melibatkan dua mobil, sebuah bus, dan tiga motor menghancurkan segalanya di jalur itu. Reruntuhan logam berserakan, bercampur dengan genangan darah di aspal. Sirine ambulans, mobil polisi, dan pemadam kebakaran memecah keheningan malam, membentuk orkestra kepanikan di bawah langit gelap.Petugas medis berlarian di antara reruntuhan, berusaha mencari tanda-tanda kehidupan. Beberapa korban berteriak kesakitan, sementara lainnya diam dalam keheningan abadi. Api berkobar dari salah satu kendaraan, membuat para petugas pemadam kebakaran bekerja ekstra keras untuk memadamkan nyala yang mengancam. Di sisi lain, polisi mencoba mengendalikan massa yang berkerumun, beberapa dengan rasa ingin tahu yang dingin, mengangkat ponsel untuk merekam tragedi tanpa memikirkan mereka yang menderita.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak perempuan berusia sekitar enam tahun perlahan membuka matanya. Kepalanya berdarah, lukanya membentuk garis merah yang mengalir turun ke wajah pucatnya. Dia mengenakan gaun putih yang tampak seperti milik seorang putri kecil, namun kini ternoda oleh darah dan kotoran. Di tangannya, sebuah boneka beruang putih, yang juga basah oleh noda darah.
Anak itu terbangun di tengah genangan darah, dikelilingi tubuh-tubuh tak bernyawa. Dia mengerjap pelan, seakan mencoba memahami situasi yang dihadapinya. Matanya memandang ke sekeliling dengan takut dan bingung, bibirnya gemetar tanpa suara. Kegelapan yang memeluk malam kini menjadi saksi kebingungannya.
Dengan tubuh gemetar, ia mencoba duduk. Kedua tangannya meraih pegangan di sisi kursi bus yang hancur, menarik tubuh kecilnya keluar dari puing-puing. Namun, setiap gerakan terasa menyakitkan, seakan tubuhnya memberontak melawan kehendaknya. Anak itu berdiri goyah di antara reruntuhan.
'Di mana ini? Apa yang terjadi?' pikirnya, tapi tak ada jawaban. Semua terasa seperti mimpi buruk.
Dia melangkah perlahan, setiap langkahnya membuat noda darah di aspal. Matanya yang kecil dan penuh air mata mencari sesuatu yang familiar-seseorang, atau apa saja yang bisa memberinya penjelasan. Tapi tidak ada. Hanya kehancuran dan kekosongan yang mengintimidasi.
Sebuah teriakan dari kerumunan memecah konsentrasi para petugas. "Hei, lihat! Ada anak kecil di sana!" seru seseorang. Semua mata beralih padanya.
Warga berbisik di antara ketidakpercayaan dan belas kasihan. "Dia satu-satunya yang selamat..."
Para polisi segera mendekatinya dengan hati-hati. Seorang petugas berjongkok di hadapannya, menatap matanya dengan lembut. "Nak, kamu baik-baik saja? Kami di sini untuk membantu," katanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Namun, gadis kecil itu hanya menatapnya kosong. Wajah polosnya kini menjadi lambang dari tragedi yang lebih besar dari usianya. Tangan kecilnya yang memegang boneka beruang bergetar, seakan boneka itu adalah satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan dunia yang telah ia lupakan.
Tubuh kecilnya perlahan terkulai ke tanah. Petugas medis bergegas menangkapnya sebelum dia jatuh sepenuhnya. "Kita harus membawanya ke ambulans!" teriak salah satu dari mereka.
=====
===°°Beberapa tahun kemudian°°===
Oke, bagaimana aku akan memulai cerita ini?
Ah, ya!
Namaku Choi Seul-Ha, 17 tahun. Aku orang yang mandiri dan cukup pintar-setidaknya itu yang sering orang bilang tentangku. Hidupku? Bisa dibilang menarik, tapi agak kacau.
Aku anak dari keluarga biasa. Tidak kaya, tidak miskin, tapi ya... hidup seadanya. Ayahku dulu seorang detektif polisi. Waktu kecil, aku sering ikut ke tempat kerjanya. Dari sana, aku belajar banyak hal: observasi, deduksi, dan menangkap detail kecil. Sekarang, aku kadang membantu kepolisian sebagai konsultan detektif.
