"JANGAN SENTUH ADIK GUA SETAN!" ucap Rora, matanya memanas melihat keadaan adiknya.
"AYAH TOLONGIN ADEK!" teriak Rora.
Rora menghempaskan tangan Yuji yang menahan badannya. Matanya bertemu dengan netra Chiquita, adiknya tersenyum tipis padanya.Rora menggelengkan kepalanya saat melihat Chiquita malah mendekati Yuji, adiknya berlutut pada Ibu tirinya. Melihat itu dengan cepat Rora mengangkat tubuh Chiquita, namun Chiquita menolaknya.
"Adek bangun! setan ini yang harusnya berlutut sama kamu." ucap Rora dengan lantang.
Seolah tuli, Chiquita malah memegang kaki Yuji dengan gemeter, tetesan darah ditangannya pun mengotori kaki Yuji. "Ibu aku minta maaf, tol-"
"YUJI! JANGAN MELEWATI BATAS!" Yesung berlari dengan tergesa, ia menghampiri istri dan kedua anaknya. Ia mengangkat tubuh Chiquita, matanya menatap nyalang pada istrinya yang juga menatapnya dengan tatapan dingin.
"Rora, bawa adik ke kamar. Tolong sekalian obati." ucap Yesung diangguki Rora.
Dengan masih berlinang air mata, Rora membawa Chiquita dan memapah adiknya menuju kamar Chiquita. Tangisnya tak mau berhenti melihat adiknya meringis kesakitan. Dadanya terasa sesak, namun ia harus menahannya didepan adiknya. Dirinya harus lebih kuat dari Chiquita, adiknya sedang membutuhkan dirinya sekarang.
Rora mambantu Chiquita mendudukkan dirinya dikasur, tangan Chiquita memegang tangan Rora yang masih berdiri menatap dirinya dengan air mata yang masih berlinang. "Maaf ya Kak, gara-gara aku Kakak jadi sedih, padahal tadi Kakak masih seneng." lirih Chiquita, ia merasa sangat bersalah.
Rora dengan cepat menggelengkan kepalanya, tangannya mengusap air matanya. "Kakak bakal seneng lagi kalau adek nurut sama Kakak. Tunggu disini, Kakak cari obat merah dulu ya?"
Rora mendudukkan dirinya disebelah Chiquita, ia mengambil kapas dan alkohol, lalu menumpahkan alkohol itu pada kapas, ia sempat terdiam sejenak memandangi setiap luka Chiquita. Pipi adiknya ada bekas kuku Yuji yang meninggalkan bercak darah disitu, dan juga ada bekas tamparan, kenapa harus pada wajah mulus adiknya sih?
"Kakak, kenapa diem aja? tangan aku perih kak." ucap Chiquita membuat Rora segera menarik tangan adiknya.
Masih ada serpihan kaca yang menancap pada tangan Chiquita. Dengan itu Rora menyimpan kembali kapas tadi dan mulai mengambil serpihan kaca pada tangan Chiquita menggunakan tangan kosong.
"Sshh, Kakak pelan-pelan."
Rora semakin tidak tega melihat Chiquita, padahal ia sudah hati-hati mengambil serpihan kaca itu.
"Tahan sebentar ya dek." ucap Rora, ah rasanya ia ingin kembali menangis.
Setelah dirasa tangan Chiquita sudah bersih, ia kembali mengambil kapas dan mulai mengobati luka Chiquita dengan hati-hati.
Chiquita mengigit bibirnya kuat-kuat, tangannya meremas tangan kiri Rora. Mau tak mau Rora mengobati wajah Chiquita hanya dengan satu tangan.
"Sakit Kak." ucap Chiquita menyingkirkan tangan Rora dari wajahnya. Saat tangannya yang diobati, ia masih bisa menahannya, tapi kali ini, sentuhan obat merah pada wajahnya terasa sangat perih.
"Tahan sebentar lagi ya dek? belum selesai. Biar cepet kering lukanya." ucap Rora kembali mengobati Chiquita.
Akhirnya Chiquita bisa menghempaskan badannya ke kasur saat Rora selesai mengobatinya. Walaupun badannya masih terasa pegal dan lengket, tapi ia benar-benar merasa lelah.
"Dek, bangun dulu." ucap Rora membuat Chiquita menurut.
Rora membawa Chiquita kedalam pelukannya, ia memejamkan matanya mengingat kejadian-kejadian hari ini. Kenapa adiknya harus merasakan seperti ini, padahal baru saja tadi pagi ia berpikir akan merasakan kebahagiaannya lagi.
"Adek kuat, Kakak bangga." ucap Rora dengan lirih.
Chiquita melepaskan pelukan Rora, ia tersenyum hangat. "Katanya Kakak mau cerita." ucap Chiquita semangat, seketika ia lupa akan kejadian yang menimpa dirinya.
Berbeda dengan adiknya, Rora malah merasa kebahagiaan tadi hanya angan belaka setelah kejadian tersebut menimpa Chiquita.
"Gak jadi dek, lupain aja. Kamu lagi sakit gini malah mau denger Kakak cerita." ucap Rora membuat Chiquita memajukan bibirnya.
"Kakak, adek udah gapapa. Ayo ceritain, adek mau denger." ucap Chiquita dengan semangatnya, Rora bisa apa jika melihatnya adiknya seperti ini?
"Yaudah," ucap Rora pasrah. Ia pun menceritakan dimana dirinya dipeluk oleh Yesung, dan ia pun menceritakan perasaan bahagianya setelah sekian lama tidak merasakan pelukan Yesung.
Chiquita mengembangkan senyumnya, ia ikut senang dengan cerita Rora barusan. Ayahnya kembali menunjukkan kasih sayangnya pada Rora. "Adek seneng Kak dengernya."
Rora membalas senyuman Chiquita, ia terulur mengusap pelan rambut Chiquita yang berantakan, adiknya bahkan tidak merubah gaya rambutnya. "Kakak ambil sisir dulu ya." ucap Rora.
Rora melepaskan ikat rambut hingga jepitan rambut pada kepala Chiquita, lalu membiarkan rambut adiknya terurai dan menyisirnya pelan.
"Adek gimana latihannya hari ini?" tanya Rora, membuat Chiquita diam, raut wajahnya berubah masam, Rora tak menyadari itu karena Chiquita membelakanginya.
"Adek seneng Kak, coach sama Kakak-kakaknya bilang kalau kemampuan adek udah bagus. Tapi, kayaknya adek emang harus,"
Rora menghentikan gerakannya, ia mencengkram kuat dadanya, ia menunduk menahan nafasnya agar Chiquita tak menyadari bahwa asmanya sedang kumat.
"-berhenti main basket deh, adek takut lihat ibu marah kaya tadi. Gapa-"
"Hhhh...Uhukk...uhukk..."
Sial, Rora sudah tidak bisa menahannya, dadanya terasa sangat sesak. Chiquita langsung membalikkan badannya pada Rora.
"Kakak, Inhalernya dimana?" ucap Chiquita dengan panik, ia memegang lengan Kakaknya.
"Hhh...ka-mar."
Chiquita membabi buta mencari keberadaan Inhaler di kamar Rora, tangannya mencari benda itu secara tidak santai, kamar Rora dibuat berantakan akibat ulah Chiquita.
and she got it.
Chiquita menemukan benda biru itu dibawah tempat tidur, ia langsung berlari menuju kamarnya lagi.
Dilihatnya Rora yang sudah tertidur menyamping dengan dadanya yang naik turun secara cepat, satu tangannya mencengkram dadanya, dan satunya lagi meremas seprei kasur.
Chiquita membantu Kakaknya mengangkat kepalanya, sebelum memasukkan benda itu pada mulut Rora, Chiquita mengocok dahulu benda tersebut.
"Hahh...hah...uhuk...uhukk"
Sepertinya Rora masih membutuhkan benda itu, Chiquita kembali membantu Rora menggunakannya.
Rora menjatuhkan kepalanya dari rengkuhan Chiquita setelah bisa bernafas dengan lega. Begitupun dengan Chiquita, ia sampai terduduk dilantai, Chiquita menghembuskan nafas kasar.
"Adek..." ucap Rora memanggil Chiquita yang masih terduduk dilantai.
Chiquita belum menjawab, ia masih menetralkan kepanikannya. Rora berusaha bangun, meski tubuhnya masih sangat lemas. Mata Rora menatap Chiquita dengan sendu, ia menghampiri adiknya dan membawanya kedalam pelukannya.
Tangis Chiquita pecah akhirnya, ia terisak dalam dada Rora. Rora mengelus kepala Chiquita dan terus mengecup puncak kepala adiknya, beberapa kali mengucapkan maaf.
"Adek, maaf buat hari ini. Maaf banyak yang bikin kamu terluka." ucap Rora dengan lirih, ia merasa dirinya menambah luka untuk Chiquita. Seharusnya penyakitnya tak kambuh disaat situasi yang tidak tepat, ia seharusnya menjaga Chiquita dengan sebaik mungkin. Kenapa dirinya harus selemah ini disaat adiknya sangat-sangat membutuhkan dirinya.
Rora ikut terisak, menyusul Chiquita menumpahkan tangisannya. Untuk saat ini, biarkan Bunda dan Kakak-kakaknya yang lain untuk tidak tahu perihal ini. Cukup Rora yang akan bertanggung jawab dalam hal ini, dirinya yang akan menjaga Chiquita.
RORA BE LIKE: AKAN KU HADAPI SEMUANYA TAPI BENTAR, BENGEK DULUU😭
double up?
KAMU SEDANG MEMBACA
WHERE'S HOME?
Fiksi Penggemar[Selesai] Dua adik terkecil harus berpisah dengan kelima Kakaknya, hidup bersama dengan Ayah dan Ibu tirinya. Dan bagaimana ketujuh saudari itu masih bisa saling berhubungan meski dalam rumah yang berbeda? ; belum direvisi plss, maafin masih beranta...