Naina tersenyum bahagia melihat betapa semangatnya sang putri saat ini. Hari itu—setelah Bhumi pergi, Naina menyampaikan kesediaan laki-laki itu untuk menghadiri undangan acara perayaan ulangtahun sekolah Aluna. Bagaimana respons Aluna saat pertama kali mengetahuinya? Tentu saja gadis kecil itu senang bukan main. Bahkan, Naina harus terjaga sampai tengah malam demi menyaksikan putrinya berlatih menari. Aluna ingin membuat ayahnya bangga.
"Bunda ... Bunda, aku sudah cantik?" tanya Aluna bersemangat. Lengkap dengan riasan dan kostum menarinya, ia tak pernah beralih dari cermin demi bisa mematut diri. "Aku cantik kan, Bun?"
"Anak Bunda selalu cantik," puji Naina tulus. Ia berdiri di dekat Aluna, memegang pundak anak itu lembut seolah mengalirkan kasih sayangnya agar sang anak. "Bundanya aja cantik."
"Ayahnya juga ganteng," sela Aluna. Namun, Naina diam tak menanggapi. "Iya kan, Bun?"
"I—iya," jawab Naina mengangguk pelan. Ia meraih tas dan segala keperluan Aluna yang mungkin akan dibutuhkan seharian ini. "Kita sarapan dulu, baru berangkat. Uti Yem sudah masak nasi goreng."
"Nanti lipstiknya hilang, Bun," cicit Aluna.
"Nanti Bunda pakaikan lag. Luna bisa cantik banget begini kan Bunda juga yang dandani. Setuju?" tanya Naina. Aluna mengangguk.
Amalia sudah menunggu di meja makan. Sejak kondisinya mulai membaik, ia lebih memilih untuk ikut bergabung makan bersama di meja makan, meskipun ia masih berhati-hati saat berjalan. Ketiganya sarapan bersama sambil sesekali bercengkrama. Amalia sama halnya dengan Naina. Ia paham betuh cucu satu-satunya itu sedang sangat bersemangat hari ini.
Selesai sarapan, Naina dan Aluna menaiki taksi online yang sebelumnya dipesan saat sarapan tadi. Bhumi tidak menjemput. Mereka sepakat untuk langsung bertemu di sekolah.
Sekolah tampak indah dengan hiasan di sana-sini. Balon-balon dengan berbagai macam warna pun ditambahkan untuk menyemarakkan suasana. Sebuah tenda terlihat berdiri kokoh di bagian lapangan. Setengah bagian lapangan tampaknya akan dijadikan arena untuk nomor perombaan lainnya.
Aluna terlihat resah. Acara sudah mau dimulai, tapi keberadaan Bhumi belum juga terlihat. Wali kelas memintanya untuk berkumpul dan bersiap-siap, tapi ia enggan.
"Ayah mana, Bun?" ucapnya pada Naina. Nada suaranya terdengar sedikit kecewa. Jika ayahnya benar-benar tak hadir, maka sia-sia sudah persiapan maksimal yang sudah dilakukannya beberapa hari terakhir. "Apa mungkin Ayah lupa? Atau Ayah nggak jadi datang?"
"Acaranya belum dimulai, Sayang," sahut Naina menenangkan. Ia pun sama cemasnya dengan sang putri. Sejak tadi, Naina selalu memusatkan pandangannya ke pintu masuk. "Insya Allah Ayah datang. Sekarang, Luna kumpul dulu bareng teman-teman, ya."
Naina segera menuju ke halaman depan sekolah. Ia memperhatikan setiap mobil yang masuk dan parkir. Tak satu pun mobil itu dikenalnya.
Panggilan pengeras suara terdengar. Seluruh tamu undangan diminta berkumpul karena acara akan dimulai. Naina kembali duduk di kursinya. Beberapa kata sambutan dari kepala sekolah sampai ketua komite pun disampaikan.
"Maaf aku terlambat. Jalanan macet parah."
Naina tersetak kaget saat tiba-tiba kursi di sebelahnya diduduki seseorang. Ia tengah mendengarkan kata sambutan dari ketua panitia acara yang tengah menyampaikan rundown kegiatan seharian ini.
"Sudah lama mulainya?" tanya Bhumi.
"Belum. Masih sekedar sambutan," jawab Naina. "Terima kasih sudah mau datang."
Acara dimulai dengan tarian yang dipersembahkan oleh murid-murid kelas 1. Naina tertawa kecil karena beberapa dari mereka terlihat melakukan kesalahan. Gerakan satu dengan yang lainnya beraneka ragam. Ada yang menangis karena malu. Ada juga yang memilih free dance karena saking percaya diri.