Lelaki itu benar-benar menepati ucapannya. Baru juga satu jam tapi dia sudah kembali dengan wajahnya yang lebih segar. Dia juga membawa backpack yang entah apa isinya. Dia malah terlihat seperti orang yang akan pindahan.
"Mas, mau kemah dimana sih?" tanya Shafa menyindir lelaki itu karena membawa banyak barang bawaan.
Lelaki itu tertawa kecil mendengar pertanyaan Shafa itu. "Aku bawa pakaian sekalian biar gak bolak-balik pulang ke rumah. aku bakalan nemenin kamu terus disini."
"Mas emangnya gak kerja?" tanyanya lagi karena penasaran.
"Kerja, tapi bisa dikerjain dimana aja kok. Tenang aku sudah persiapkan semuanya." Ujarnya sembari menunjuk tas laptop yang sudah siap dia bawa.
"Kamu padahal gak perlu nemenin aku dua puluh empat jam juga loh Mas. Aku tuh gak papa disini sendirian. Aku juga punya teman nanti biar mereka yang nemenin. Aku paham Mas Danish juga punya kehidupan di luar sana, jadi jangan karena aku kerjaan dan kehidupan Mas Danish jadi berantakan gini." Ujar perempuan itu merasa tidak enak hati pada lelaki itu. Dia tahu bahwa apa yang dilakukan Danish sekarang adalah bentuk tanggungjawab terhadap tindakannya. Tapi Shafa pikir, dia tak perlu bertindak sejauh itu.
"Gak papa. Aku juga udah bikin hidupmu berantakan jadi kita impas. Kamu juga gak bisa kerja, gak bisa tidur nyaman di rumah, gak bisa jalan-jalan lagi keluar sana. Aku yang gak enak nantinya, aku yang bikin kamu begini tapi aku malah bisa kemana-mana sesukaku. Tentu saja ini gak adil buat kamu. Biarin aku juga ngerasain di posisi kamu. Biarlah aku menerima konsekuensi atas perbuatan teledorku ini." Jelas lelaki itu yang tak bisa ditolak lagi oleh Shafa.
"Tapi kalo mas butuh keluar buat kerja atau buat keperluan apapun, silahkan loh ya. Aku gak ngelarang. Jangan merasa terbebani, aku sudah memaafkan dan aku anggap ini memang ujian buat aku. Aku sudah ikhlas menerimanya." Danish mengangguk mengerti.
Dua orang itu sama-sama tidak enakan dengan kondisi mereka saat ini dan mereka saling berdiskusi sampai dititik saling mengerti. Shafa tidak akan menahan Danish jika ingin pergi kemanapun tapi dia juga tak melarangnya jika dia ingin tetap disana.
"Nih pembalut yang kamu minta." Ujar Abelle dengan santainya melempar pembalut itu ke tangan Shafa. Perempuan itu tak sadar bahwa ada seonggok manusia juga disana. Shafa menahan malu karena tingkah temannya itu.
"Apa sih Shaf?" Tanya Abelle bingung ketika Shafa memainkan matanya untuk memberi kode kepada Abelle tentang keberadaan Danish.
Abelle pun menoleh kesamping dan ternyata ada lelaki yang sedang fokus pada laptopnya. Dia memang duduk di pojok ruangan jadi sedikit tak terlihat. Abelle hanya menyunggingkan senyumnya meminta maaf.
"Udah dari tadi Mas?" Tanya Abelle berbasa-basi.
"Eh enggak, baru aja kok." Jawabnya lalu fokus kembali ke laptopnya.
"Bel, bantuin gue dulu ke kamar mandi. Tapi ati-ati kaki gue masih sakit parah." Pinta perempuan itu dengan penuh kesungguhan. Abelle pun berusaha untuk membantunya tapi dia tak kuat menopang tubuh Shafa.
"Sini biar aku bantu." Ujar Danish yang langsung peka dan meninggalkan pekerjaannya itu.
"Eh mas gak usah. Ini aku lagi emm.. Ini kotor." Ujarnya bingung. Dia sedang haid dan darahnya sudah tembus di kasurnya. Dia malu jika Danish melihatnya.
"Gak papa, aku gak bakalan lihat. Aku Cuma bantu kamu naik ke kursi roda doang kok."Ujar lelaki itu yang akhirnya dijawab anggukan setuju oleh Shafa.
Danish mengangkat tubuh Shafa lalu mendudukkannya di kursi roda. Setelah itu Abelle yang mengantarkan Shafa ke kamar mandi. Lelaki itupun kembali ke tempatnya dan melanjutkan pekerjaannya.
Operasi akan segera dimulai. Suster sudah memakaikan baju pasien kepada Shafa lalu mendorong brankarnya ke ruang operasi. Shafa tidak merasa takut sama sekali. Dia hanya berpikir bahwa itu semua akan segera berakhir. Rasa sakitnya akan segera hilang dan dia akan kembali sembuh.
"Aku tunggu disini ya. Kamu pasti bisa melewatinya. Aku akan mendoakanmu disini." Ujar Danish sebelum Shafa masuk ke ruangan operasi. Shafa mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Shaf, jangan lupa doa ya. Everything will be alright." Kini giliran Abelle yang memberikan semangatnya pada temannya itu.
"Iya, udah sana pada ngopi aja gak usah nungguin disini. Kek mau nunggu apa aja. Ujar Shafa membuat para suster pun tertawa. Mereka mungkin baru bertemu dengan pasien yang begitu santai ketika mau dioperasi.
Suster kembali mendorong brankar Shafa lalu menutup pintunya. Operasi pun dimulai. Shafa terlihat santai tapi mereka berdua yang menunggu tampak begitu cemas.
Ketika sedang menunggu operasi, ponsel Abelle berbunyi. Dia melihat disana tertera nama bapak dari Shafa. Dia pun menjawabnya dengan santai.
"Lagi dimana Bel?" Tanya pak Ahmad pada Abelle melalui saluran telepon itu.
"Ini di rumah sakit pak nungguin Shafa." Ujarnya tanpa sadar.
"Hah, Shafa? Memangnya dia kenapa?" Tanya pak Ahmad nampak terkejut. Mendengar hal itupun Abelle baru teringat jika dia tidak boleh memberitahu orangtua Shafa. Abelle pun panik. Dia melihat kearah Danish seakan meminta bantuan tapi lelaki itu tak bisa membantunya apa-apa. Shafa pasti akan marah jika tahu tentang ini.
"Emm,,, ini pak Cuma diare kok. Terus aku temenin dia cek ke dokter." Alibinya pada pak Ahmad. Tapi tentu saja pak Ahmad tak percaya segampang itu.
"Di rumah sakit mana Bel? Bapak kesana sekarang." Ujar pak Ahmad dengan tegas. Abelle sudah tak bisa meresponnya lagi. Dia tak tahu harus berkata apa.
"Mas, gimana nih?" Tanya Abelle panik tapi hanya dijawab endikkan bahu oleh Danish. Dia pun juga tak tahu harus berbuat apa lagi.
***
Enjoy reading gais...
Jangan lupa vote dan komentarnya ya :)
Thanks and have a great day !
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident (END ✅️)
RomanceKecelakaan yang awalnya menjadi petaka bagi kehidupan Shafanina ternyata juga menjadi awal kehidupan bahagianya. Kecelakaan motor yang dialaminya itu menyebabkan ia tak bisa berjalan selama sebulan. Selama sebulan itu juga lelaki yang menabrak dirin...