4. Ary: Diary Melodi

83 14 0
                                    

"Tidak ada yang bagus dalam hal apa pun saat pertama kali memulai. Jika kamu membuat kesalahan, coba lagi."

Horimiya — Izumi Miyamura.

"Ashari," panggil seorang wanita berjilbab yang berdiri di ambang pintu ruang guru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ashari," panggil seorang wanita berjilbab yang berdiri di ambang pintu ruang guru.

Aku berusaha mengingat-ingat namanya. Baru beberapa hari pindah, tentu saja tidak semua nama guru akan aku hafal dengan cepat. Bahkan nama teman-teman sekelas saja hanya Melodi yang masih akrab di pikiranku. Selain karena sikapnya yang pendiam dan jutek, dia adalah temanku berbagi meja yang sama.

Oh, Ary! Jangan lupa jika cewek itu tidak suka disebut sebagai teman. Aku heran dengan dunia orang seperti Melodi. Dia tertutup, tidak banyak bicara, hanya sibuk menyumpal telinganya hampir sepanjang hari, lalu mencoret-coret kertas. Kuakui, gambarnya bagus juga.

"Kenapa, Bu?" tanyaku sesaat setelah membawa langkah kaki ke arah Bu Hanifa—aku baru saja ingat namanya. Beliau masuk di jam pelajaran Bahasa Inggris beberapa hari lalu.

"Hari ini ada jadwal Ibu di kelasmu. Tolong ambil buku paket di perpustakaan, ya. Sebelum Ibu masuk, buku paket sudah harus dibagikan."

"Baik, Bu."

Sebenarnya aku agak malas melangkah ke perpustakaan. Jarak dari ruang guru ke bangunan itu cukup jauh. Harus melewati koridor kelas sebelas yang panjangnya kelewatan. Namun, karena tidak ingin menolak juga, aku memutuskan untuk pergi.

Berselang beberapa detik aku tiba di sana. Yeah, walaupun harus berlari. Tubuhku terbentur seseorang saat hendak masuk dan orang itu akan keluar. Aku mengaduh membuat si pelaku langsung mendongak menatapku.

"Eh, Mel?"

Wajah Melodi menyiratkan keengganan. Barangkali ia risih karena aku terus memanggilnya. Tiba-tiba saja seorang Banyu Ashari ini jadi sok akrab. Tiap kali bertemu atau berpapasan, aku selalu mencoba menyapanya. Melodi yang terlihat tenang dalam kesendirian dan sibuk dengan dunia sendiri mendadak membuatku penasaran.

Paling tidak, aku bisa akrab dengan teman semeja. Sayangnya, Melodi terkesan tidak suka. Setiap aku berusaha mengajak berbicara, ia selalu cuek menyumpal telinganya dengan earphone.

"Mel?" Aku menggerakkan tangan di depan wajahnya. "Abis nangis, ya?" tanyaku.

"Sok tahu!"

Melodi berlalu begitu saja setelah memamerkan wajah tidak suka. Padahal aku tidak buta-buta banget. Jelaslah matanya kelihatan sembab dan masih memerah. C'mon Banyu Ashari! Apa pedulimu?

Biarlah. Melodi barangkali tidak ingin susah payah membiarkan orang lain hadir dalam hidupnya. Barangkali pula ia sudah terbiasa sendirian. Aku mengangkat bahu sesaat setelah punggung Melodi mengecil karena jarak. Lantas segera masuk ke perpustakaan untuk memenuhi titah Bu Hanifa.

MELODIARY✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang