"Tubuh tidak bisa berbohong. Saat terluka tubuh akan menangis. Namun, hati bisa berbohong. Saat terluka, hati mampu terdiam."
Its Okay to Not Be Okay — Moon Sangtae.
Kupikir sejak Magenta menjauh, kehidupan normal versiku akan kembali seperti sedia kala. Namun, ternyata tidak. Sejak Magenta menjauh dariku, bisik-bisik berisik dari anak-anak di kelas mengusik telingaku. Bukan dikatakan berbisik juga, sih, sebab mereka sengaja mengeraskan suara untuk menyindirku.
"Dia nggak tau malu banget, ya. Kasihan Magenta udah repot-repot ngajak orang kayak Melodi buat temenan."
"Iya. Dia saking sok tertutup, dipikir sikapnya keren apa, ya? Magenta mending temenan sama kita aja. Melodi nggak tau bersyukur, sih!"
"Bener. Gue agak gregetan sama dia. Sumpah!"
Obrolan-obrolan semacam itu sering menyapa telingaku sejak Magenta menjauh. Mereka sibuk mengkritik dari satu arah. Tanpa pernah tahu jika Magenta menghinaku hari itu. Beruntunglah, sebab hanya aku yang bisa melihat topeng si primadona sekolah. Jadi, aku tidak perlu bersusah-payah untuk berteman dengannya dan menjadi pusat perhatian orang lain.
"Eh, ayo! Pak Rais pasti udah nunggu," kata salah satu cewek di luar.
Aku sedang berada di bilik toilet untuk mengganti seragam olahraga. Pagi ini jam pertama adalah olahraga. Sebenarnya aku tipe siswa yang selalu ingin menghindari pelajaran olahraga, tetapi sayangnya tidak bisa mengelak kecuali kalau benar-benar tidak enak badan. Entah karena demam atau haid biasanya. Aku tidak jago berpura-pura sakit, lalu melipir ke UKS untuk membolos.
Setiap jam olahraga, kami diwajibkan untuk memanaskan badan terlebih dahulu. Tepat di lapangan basket, di samping ring, anak-anak di kelasku sudah berbaris. Sang ketua kelas dan wakil memandu di depan barisan. Aku datang menyusul setelah cewek-cewek berisik tadi keluar dari kamar mandi.
"Hai, Mel!" sapa Ary yang memaksaku berdiri di sampingnya. "Aku sisain tempat kosong buat kamu."
"Trims," jawabku.
Ary terkekeh pelan, lalu kembali fokus pada arahan ketua kelas untuk segera memandu pemanasan tubuh. Selalu saja begitu. Setiap jawabannya pendek-pendek, Ary terkekeh sesaat. Padahal kurasa tidak ada yang lucu.
Kami memulai pemanasan tubuh dan bisa dipastikan kalau akulah yang paling niat di antara para cewek. Mengapa demikian? Sebab mereka malas-malasan dan terlihat ogah melawan panas. Padahal masih pagi dan matahari baru saja menampakkan sinar agak menyilaukan.
"Wih, kelasnya Magenta juga olahraga, ya? Asik! Bisa lihat Princess, nih." Salah satu cowok di depan Ary bersuara keras.
Beberapa anak cowok—tidak terkecuali ketua dan wakil kelas—menoleh ke gerombolan kelas Magenta yang baru keluar. Cewek-cewek langsung meneriaki mereka. Mengganggap bahwa mereka norak.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELODIARY✅
Teen FictionBLURB: Andaikata momen itu tidak kita ciptakan, mungkinkah kita akan terselamatkan? -Ry, pada Melodiary, 2017. Ayah, Ibu, Adik. Melodi memiliki keluarga lengkap, tetapi dirinya cenderung kesepian. Demi meredam rasa sakit atas teriakan memuakkan, Me...