13. Melodi: Satu Hari Berani

50 11 0
                                    

"I can do this all day."

Captain America - Steve Rogers

Kupikir Ary tidak akan tahu jika aku meninggalkan diari di perpustakaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kupikir Ary tidak akan tahu jika aku meninggalkan diari di perpustakaan. Ternyata seharian kemarin ia memperhatikan. Sebab Ary membalas catatanku. Untuk sesaat aku termenung menatap lembar yang sudah diisi tulisan kami. Agak konyol, ya. Kami punya ponsel yang terbilang canggih, tetapi tidak memfungsikannya sebagai sarana untuk mengobrol. Aku bahkan tidak memiliki nomor ponsel Ary. Begitu pula sebaliknya.

"Mel, aku udah kelar," kata Ary saat keluar dari kelas setelah piket kebersihan selesai.

Matanya selalu berkilat-kilat penuh semangat. Padahal aku yakin, Ary memiliki luka. Sejak kasus doping pada pagelaran O2SN menimpa, Ary terlihat sangat baik-baik saja. Seperti biasa, ia selalu ceria. Seakan-akan masalah itu tidak akan menumbangkan dirinya.

"Aku pikir kamu bakal nolak," tukas Ary.

"Aku suka gratisan."

Ary terkekeh dengan humor kering yang aku lontarkan. Ah, bahkan itu tidak bisa disebut humor. Namun, Ary tertawa renyah. Ia lantas berjalan lebih dahulu. Aku bangkit dari bangku semen di depan kelas, lalu melangkah hati-hati di belakangnya. Selain menjadi pusat perhatian karena sempat dekat dengan Magenta, kini berada di dekat Ary tetap menjadi perhatian orang lain.

Kasus doping memang membuat nama Ary jelek, tetapi semua murid di sekolah seperti tidak peduli lagi. Hanya sebagian yang bergosip. Sedangkan Ary dengan cuek berbaur bersama mereka. Dia terlalu gampang untuk menyapa dan akrab dengan orang lain. Sedangkan aku? Oh, Melodi! Lagi-lagi aku membandingkan diriku dengan orang lain.

"Oh ya, Mel. Kamu pengin makan sesuatu nggak atau ada makanan yang kamu suka?" tanya Ary sesaat setelah kami keluar dari halaman sekolah.

"Nggak tau."

"Hm, begitu?" Ary menggaruk kepalanya sendiri. Aku ini memang agak susah memperpanjang pembicaraan. Bikin Ary jadi bingung.

"Aku nggak suka makanan manis."

Ary langsung menanggapi, "Wah! Beda kayak aku, dong. Aku nggak bisa makan makanan pedas."

Jawaban Ary yang super antusias hanya kurespons dengan anggukan sesaat dan senyum samar yang bahkan tidak sempat dilihat olehnya. Kami naik angkot yang terparkir tidak jauh dari sekolah. Biasanya anak-anak di sekolah lebih sering naik angkutan umum daripada membawa kendaraan sendiri atau dijemput. Aku biasanya naik sepeda, tetapi akhir-akhir ini sedang malas mengayuh.

Di dalam angkot yang sedikit sesak, aku dan Ary berdesakan dengan siswa lain yang menjadi penumpang siang itu. Siang yang sangat terik, sampai-sampai sinar matahari serasa menembus kaca angkot dan menusuk leherku. Baiknya, aku sudah terbiasa dengan kondisi itu. Enggak tahu kalau Ary. Aku meliriknya. Lelehan keringat berjatuhan di pelipis cowok jangkung tersebut.

MELODIARY✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang