18. Ary: Sepenggal Nasehat

32 10 1
                                    

"Dia cewek yang baik. Cewek kayak begitu jarang ada, loh. Jaga dia baik-baik, ya."

Tokyo Revengers — Sano Manjiro (Mikey)

Riuh suara para siswa di sekolah atlet  timbul ketika aku menjejakkan kaki di kolam sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Riuh suara para siswa di sekolah atlet  timbul ketika aku menjejakkan kaki di kolam sekolah. Beberapa waktu lalu, sang pelatih yang mengenalkan diri sebagai Pak Ridwan, menawarkan agar aku mencoba lagi. Namun, sampai detik ini bahkan aku masih tidak memutuskan apa pun.

Walaupun sekarang aku berdiri di tepi kolam renang—bukan di sekolahku yang lama—tetapi ingatan tentang masa-masa yang telah lalu kembali memenuhi kepala. Aku berdiri di depan kolam renang, menyaksikan air yang hening tidak beriak. Dahulu air adalah segalanya bagiku, tetapi sekarang rasanya seperti diburu ketakutan.

Aku memandangi lamat-lamat air kolam. Sendirian. Secercah sinar mentari sore mengintip lewat celah-celah ventilasi kecil di tembok ruangan. Terjatuh pada air kolam yang biru dan menenangkan. Lamunanku terantuk pada berbagai hal. Masa lalu. Biru. Doping. Davi. Semuanya berputar-putar.

Apalagi kejadian semalam, saat aku menyapa Davi setelah sekian hari tidak bertegur sapa. Padahal aku selalu ingin, tetapi Davi-lah yang menghindar. Maka tadi malam aku memberanikan diri.

"Dav, sampai kapan lo bakal bersikap seperti ini?" tanyaku semalam.

Davi yang tengah mengganti pakaian dengannya kaus biasa hanya mengabaikan. Seakan-akan keberadaanku di kamarnya sangat transparan. Kakakku berjalan cuek ke kamar mandi dan aku belum ingin menyerah. Aku duduk di kasurnya, menunggu. Sampai akhirnya Davi keluar dari sana.

"Keluar, gue mau istirahat," titah Davi dengan nada bicara yang sangat dingin.

"Gue cuma mau minta maaf, Davi. Berapa kali gue bilang, kalau itu bukan salah gue. Iya, lo pasti bakal sulit percaya karena bukti tes doping itu, tapi gue ... gue make itu bukan karena keinginan gue sendiri." Aku tidak ingin menyudahi pembicaraan kami malam itu. Akan kujadikan kesempatan untuk berbaikan dengannya.

Davi tiba-tiba menatap nyalang ke arahku. "Jadi, lo mengakui kalau lo pake doping? Lo gila, Ary!"

"Dav, lo ngerti nggak? Itu bukan keinginan gue!"

"Terlepas dari keinginan lo atau bukan, buktinya udah ada, Ary. Lo pake doping dan itu hal hina yang nggak seharusnya lo lakuin di ajang olahraga. Andai mama masih ada, dia bakal kecewa berat sama lo. Satu lagi, gara-gara lo, semua orang mencurigai gue kalau gue juga sama kayak lo! Apa lo bangga udah bikin kami semua kecewa? Papa? Mendiang Mama? Gue!"

Suara Davi meninggi kala itu. Belum pernah aku melihatnya semarah tadi malam. Bahkan saat hasil tes doping keluar, Davi tidak langsung marah. Ia hanya mengepalkan tangan, diam, dan pergi dari rumah—tidak pulang sampai satu minggu. Walaupun aku tahu bahwa ia sungguh-sungguh sangat marah dan kecewa. Ketika pulang ke rumah, barulah dia marah habis-habisan.

MELODIARY✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang