"Aku bersemangat, meskipun aku sendirian."
One Piece — Monkey D. Luffy
Riuh decakan sebal penuh protes terdengar dari setiap bibir yang baru saja selesai membaca pengumuman. Selembar kertas yang terperangkap kaca bening di papan pengumuman menerangkan bahwa sebentar ujian kenaikan kelas akan segera digelar. Bagiku—mungkin juga bagi siswa yang nilainya tidak pernah di atas KKM—ini adalah momok yang menakutkan. Sejujurnya aku malas belajar, tetapi jika tidak, nilaiku taruhannya.Cukup kondisi keuangan keluarga yang menjadi bahan protesku sehari-hari. Jangan lagi masalah nilai. Jadi, paling tidak aku harus belajar lebih giat lagi. Kali ini ada yang memotivasiku juga sebenarnya. Iya, ucapan Bapak tentang sepatu baru. Aku tahu usiaku sudah bukan anak Sekolah Dasar yang merasa super antusias ketika mendengar iming-iming hadiah sepatu baru, tetapi untuk orang tidak berkecukupan sepertiku sangat luar biasa.
Aku keluar dari kerumunan siswa-siswi di depan papan pengumuman. Padahal sebelumnya aku jarang sekali bergabung dengan mereka untuk rebutan melihat kertas pengumuman yang ditempel oleh guru kesiswaan pagi-pagi sekali. Anehnya beberapa bulan belakangan, aku malah tidak segan berbaur dengan mereka. Walaupun tidak berkomunikasi atau bertegur sapa.
Kebiasaanku yang selalu menyendiri perlahan mulai berkurang. Aku jarang menulis diari di perpustakaan karena tidak pernah membawanya lagi. Aku jarang ke halaman belakang perpustakaan untuk makan bekal karena di kelas pun sudah cukup karena Ary sering membawa bekal juga. Kegiatan yang kerap aku lakukan sekarang adalah membantu Bapak mengurus pelanggan untuk jasa ojeknya, menemani Imel saat Ibu bekerja, dan tentu saja di akhir pekan aku menyempatkan diri bertemu Mas Arun dan rekan lainnya di komunitas.
"Kapan terakhir kali aku merasa sebahagia ini? Bukan, tapi ini yang pertama kali," ucapku pada suatu malam saat melamun sendirian. Menggoreskan pensil pada buku sketsa.
Bukan berarti aku tidak suka sendirian. Aku suka, di saat-saat tertentu. Jika seharian menghabiskan waktu di sekolah atau kegiatan dengan komunitas, energiku jadi makin cepat berkurang. Malam menjadi satu-satunya sesi untuk mengisi energiku kembali.
Kesendirian itu menyenangkan, tetapi terkadang membuatku merasa kesepian. Apa pun yang aku lakukan sendiri, berjam-jam pun, tidak ada masalah selagi aku menikmatinya. Selagi itu membuatku senang. Akan tetapi, beberapa hari belakangan—barangkali sejak Ary hadir dalam hidupku—aku mengerti bahwa ternyata kesendirian tidak hanya membuatku merasa semangat, tetapi aku kesepian.
Ternyata Ary berpengaruh besar dalam hidupku.
Baru saja aku memikirkannya, cowok itu terlihat keluar dari ruangan klub renang sekolah. Sepasang mata kami bertemu membuatku sedikit kaget. Ary mengulas senyum lebar seperti biasa. Dia selalu ceria. Dia selalu menjadi Banyu Ashari yang pertama kali aku temui saat berada di kelas yang sama.
"Kamu ...." Aku menimbang-nimbang apakah pantas menanyakannya. Ary sering ke kolam renang sekolah, lalu keluar-masuk ruangan klub renang. Kupikir dia ingin bergabung dengan ekskul itu. Hanya saja aku tidak bisa menanyakan lebih jauh. Hanya menunggu sampai Ary yang bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELODIARY✅
Teen FictionBLURB: Andaikata momen itu tidak kita ciptakan, mungkinkah kita akan terselamatkan? -Ry, pada Melodiary, 2017. Ayah, Ibu, Adik. Melodi memiliki keluarga lengkap, tetapi dirinya cenderung kesepian. Demi meredam rasa sakit atas teriakan memuakkan, Me...