10. Ary: Melodi Sederhana

57 15 13
                                    

"Kamu pernah mendengar? Ketika seorang anak laki-laki menggodamu, itu berarti dia menyukaimu."

Who Are You [Thailand] — Gun

Semalam Davi pulang dan lagi-lagi memarahiku karena insiden doping

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalam Davi pulang dan lagi-lagi memarahiku karena insiden doping. Menurut penuturan Davi, teman-temannya—lebih-lebih di klub renang—ikut mempertanyakan kerja keras dan stamina Davi selama ini. Jangan-jangan Davi juga sama sepertiku.

Gara-gara itulah Davi marah sampai tidak minat melanjutkan makan malam. Seperti biasa, papa akan menepi ke kamar Davi dan menasehatinya. Tentu saja dengan kalimat-kalimat positif yang penuh pujian. Entah sampai kapan situasi ini akan selesai.

Memang benar, sih. Bukti pemeriksaan medis menunjukkan dalam tubuhku ditemukan kandungan zat tersebut. Sayang sekali, akan percuma kujelaskan kebenarannya jika Davi tidak pernah mau memberi kesempatan. Sekarang akulah Banyu Ashari yang hidup tanpa peduli tujuan karena merasa kehilangan mimpi.

Lamunanku buyar tatkala melihat sosok berambut pendek model bob yang khas. Ia berjalan di koridor menuju halaman belakang gedung perpustakaan. Tangan kanannya sibuk menenteng plastik berwarna hitam. Sedangkan tangan kiri memeluk buku sketsa.

"Kenapa Melodi nggak pernah nulis diari lagi, ya? Dia nggak pernah meninggalkan buku itu di perpustakaan. Apa nggak ada yang ingin dia ceritakan ke gue?" Aku bergumam di bawah terik mentari yang menelusup lewat celah dedaunan pohon rambutan depan ruang koperasi.

Jadid di lapangan bola sedang berusaha bertanding dengan anak kelas dua belas. Katanya buat seru-seruan. Atensi dan pikiran penuh dalam kepalaku langsung tersita oleh Melodi. Aku bangkit dari tempat seraya menepuk area belakang celana. Rupanya Jadid menangkap aksiku.

"Woy, Ry! Lo mau ke mana?" seru Jadid.

"Kantin bentar. Tunggu di sini."

Untung saja Jadid tipe yang patuh. Jadi, aku tidak perlu repot-repot menyuruhnya diam. Aku tidak bohong dengan ucapanku. Sebelum menghampiri Melodi, aku melipir ke kantin untuk membeli dua bungkus roti dan dua botol air mineral tanggung. Wow! Inisiatif yang bagus Ary, aku memuji diri sendiri.

Aneh sekali. Padahal mungkin saja Melodi sudah makan. Beberapa hari belakangan ia dekat sekali dengan Magenta. Mereka kerap makan siang bersama. Kadang-kadang membuatku gregetan ingin bergabung. Aku juga mau, dong, makan bareng dengan Melodi.

Kaki panjangku bergerak menuju halaman belakang perpustakaan. Serupa Melodi yang aku temui sejak pertama masuk sekolah, sekarang ia tetaplah Melodi yang suka sendiri. Ia menepi dari keramaian. Sibuk menikmati riuh dalam kepalanya. Tak usah susah mencari, kutemukan Melodi duduk di bawah pohon peneduh dengan ranting kecil dan daun menyerupai gumpalan awan.

"Mel?" sapaku.

Melodi terperanjat, nyaris menjatuhkan sendok berisi nasi di atasnya. Aku nyengir lebar dan duduk berjongkok tepat di hadapan Melodi. Tatapan matanya menyiratkan kekesalan yang begitu kentara. Lagian, siapa yang tidak kaget jika ada yang tiba-tiba muncul? Untung aku bukan setan penghuni halaman belakang perpustakaan.  

MELODIARY✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang