[END | Season 2]
Yibo pikir Sang Pencipta itu akan selalu baik pada seluruh umatnya. Sebab dia selalu hidup di tengah banyaknya keberuntungan dan kehabagiaan. Apapun yang dimaunya, Yibo selalu bisa menggenggamnya.
Seketika dia tersadar saat dipertem...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Feel free to ask for the typo(s) Happy reading!
✧✧✧
Suara peluru melengking dengan nyaring saat kendaraan yang Yibo naiki sampai pada pelataran rumah orang tuanya. Langkah kakinya panjang dan tergesa saat menginjak lantai. Sama sekali tidak menghiraukan senyum kejut dari pelayan karena Tuan Mudanya datang.
“Wang Jie?” Suara itu mengalun lembut, disusul langkah kaki yang juga tergesa. “Ada masalah?” Pertanyaan dari mama mampu membuat Yibo menafsirkan satu hal, bahwa Lusi ada di sini.
Kepala Yibo hanya mengangguk, belum berniat untuk membuka kata lebih banyak saat suara tembakan kedua mengudara. Dia tahu dengan jelas dari mana dan siapa yang membuat sumber suara itu.
Yibo butuh waktu dua jam setengah untuk tiba di Shanghai. Dia harus rela menghabiskan waktu lebih banyak sebab mendatangi kediaman Zhao lebih dulu hanya untuk mendapati wanita itu tidak di rumahnya. Dengan yakin, Yibo meminta sopir untuk menginjak pedal gas secara penuh menuju kediaman orang tuanya.
Jam menunjukkan pukul empat sore ketika dia sampai di tanah Shanghai, dan Lusi mungkin sudah tiba dua jam yang lalu. Yibo cukup tenang ketika mendapati wanitanya di sini, berteduh di rumah orang tuanya dan tidak melakukan hal bodoh yang lain.
Siluet Lusi turut menjulang di tengah pepohonan yang rindang. Wanita itu berdiri tegap dengan senapan di tangan. Rambutnya dikuncir kuda, mempertontonkan lekukan pinggang yang kecil. Dengan celana bahan berwarna army, wanita Zhao itu seakan menyatu bersama halaman belakang kediaman Wang.
Detak jantung Yibo yang awalnya berpacu, kini mulai tenang. Dia tersenyum lega mendapati sang wanita. Dengan langkah gontai, Yibo semakin mendekat, membiarkan telinganya tertusuk oleh suara nyaring dari peluru yang dilayangkan menuju target jauh di depan.
“Sedang ada masalah?”
Papa Wang menyadari eksistensinya, segera menyambut Yibo dengan pertanyaan itu karena mendapati bahwa mereka pulang secara terpisah.
Anggukan Yibo berikan dengan lesu. Tenaganya terasa terkuras habis. Bahkan saat menjawab, “Sedikit.” Dia seolah tidak memiliki tenaga yang lebih besar.
Tepukan halus papa Wang berikan pada pundak lebar anaknya. Beliau menghela dengan senyum yang menghiasi bibir. “Lusi belum bercerita sejak dia tiba. Dia juga sudah lama bermain. Selesaikan baik-baik, Nak.”
Atas pesan itu, Yibo kembali mengangguk. Dia kemudian melangkah maju saat sang papa meninggalkan halaman. Langkah kaki Yibo tidak dapat mengalahkan suara tembakan, Lusi juga memakai pelindung telinga. Wanita itu baru sadar saat Yibo sudah berdiri tepat di belakang, turut meletakkan tangan di atas senapan untuk menyeimbangkan tubuh wanitanya.
“Rileks, Sayang.” Kata Yibo. Dia dapat merasakan tubuh Lusi yang menegang sepersekian detik. “Akan lebih susah mengenai sasaran jika tubuh kamu tegang.” Namun, kalimat itu tidak diidahkan, Lusi masih kaku dalam kungkungan Yibo yang hangat.