[END | Season 2]
Yibo pikir Sang Pencipta itu akan selalu baik pada seluruh umatnya. Sebab dia selalu hidup di tengah banyaknya keberuntungan dan kehabagiaan. Apapun yang dimaunya, Yibo selalu bisa menggenggamnya.
Seketika dia tersadar saat dipertem...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Feel free to ask for the typo(s) Happy reading
✧✧✧
Patuh dengan permintaan papa, Yibo memesan penerbangan paling awal pada hari Rabu. Dia pulang ke Shanghai dengan Zhan selepas dua hari perintah dari pria yang mendidiknya.
Sudah hidup dengan papa selama itu, Yibo sangat tahu bagaimana sifatnya bahkan melalui gaya pesan yang beliau kirimkan. Dia yakin bahwa kepulangannya bukan hal yang baik, mengingat kemarin mama mengingatkan untuk tidak sembrono.
Sejatinya, dokter tidak mengizinkan bagi Zhan untuk melakukan perjalanan jauh. Sekalipun jarak Beijing dan Shanghai hanya dua jam dengan pesawat, kondisi Zhan yang baru pulih tetap mengkhawatirkan. Yibo juga patuh pada saran itu, sedang Zhan memaksa untuk ikut dengan alasan ingin melihat jaminan yang Yibo berikan dengan mata kepalanya sendiri.
Tidak ingin mengambil resiko, Yibo memaksa Zhan untuk tinggal di salah satu hotel mewah setelah mereka menginjakkan kaki di Shanghai. Pikirnya bukan pertanda yang baik jika langsung mengajak Zhan. Dia ingin mengamankan pemuda itu sekalipun harus meninggalkannya bersama sopir yang menjemput mereka.
Taksi yang Yibo tunggangi berhenti di depan gerbang tinggi berwarna hitam. Dia terlihat kecil saat berdiri di sana, menanti dengan sabar pembatas itu terbuka setelah penjaga kediaman menyadari keberadaan Tuan Mudanya. Yibo sempat ditawari payung, tapi dia menolak dan membiarkan mentari pagi menusuk ubun-ubun. Di bawah pohon pinus yang hijau, Yibo membawa kakinya untuk berlari kecil. Dia belum lari pagi ini, tidak masalah baginya untuk menguras sedikit tenaga guna tiba pada bangunan utama kediaman.
Dari kejauhan, maniknya menangkap siluet mama yang sedang memotong daun di bawah teras. Wanita itu berusaha mempertahankan keindahan bunga anggrek yang menggantung di pilar menjulang, dan Yibo sedikit mempercepat langkah saat bibirnya sedikit tertarik ke samping.
“Selamat pagi, Ma.” Sapaan Yibo terdengar halus meskipun napasnya sedikit memburu. Dia mencium punggung tangan mama sebelum memberikan dekapan hangat. Wanita paruh baya itu membalas, turut mengelus helai rambut Yibo yang sudah sedikit panjang.
“Belum memangkas rambut, ya?” Mama bertanya, merangkul sayang pundak Yibo ketika mereka berjalan masuk. Beliau kemudian melanjutkan saat Yibo mengangguk mengiakan. “Di potong, ya, sudah cukup panjang.”
Mengedarkan pandang, Yibo tidak menemukan eksistensi papa di seluruh penjuru ruang. Tapi, dia tidak berniat bertanya saat menuruti mama yang menyuruhnya duduk di ruang makan. Barulah wanita itu meminta pelayan rumah untuk memanggil papa.
“Panggilkan suamiku, suruh turun untuk sarapan.”
Seketika, tenggorokan Yibo kering. Dia dengan susah menelan air putih dari gelas. Berharap cemas bahwa sarapan hari ini tidak begitu menguras tenaga, mengingat pesan mama kemarin. Dia diminta berhati-hati dan tidak bergerak sembarangan, sebab papa sudah mencari tahu tentang Xiao Zhan lebih dulu.