Bukan hal baik untuk mengawali sebuah cerita. Namun, inilah yang tengah terjadi di tengah-tengah kita. Di dalam kamar mandi penuh dengan marmer hitam sebagai pengokohnya, seorang pria 30 tahun tenang merokok dalam bathtub bulatnya. Merasakan kerinduan, menikmati sensasi demi sensasi pedihnya. Rasa menyiksa itu sudah dianggap sahabat.
Seraya mengembuskan uap tidak sehat, dua mata memandangi satu objek saja. Secarik foto yang dilaminating paten agar tidak basah, tidak mudah rusak atau terlipat. Ia punya banyak. Tidak untuk dibagikan, tidak pula untuk ia kirimkan sihir agar yang di dalam foto itu berminat. Ia hanya ingin mendambakan, memanjakan hati yang membusuk karena luka. Ia mencintai perempuan dalam foto itu dengan keras dan sangat. Itu saja.
Adrian Satria Wijanitra, selalu menikmati bathtub time-nya sepulang kerja, atau setelah menempuh hari-hari melelahkan, atau bila sedang merindukan wanita yang telah lama hengkang dari hidupnya. Ditemani lagu-lagu era 1990-2000an, ia merelakan dirinya tenggelam. Dengan foto-foto wanita yang entah di mana, ia serahkan hatinya untuk diinjak-injak cinta yang patah.
Namun walau selalu ditemani foto-foto perempuan pujaan di kamar mandi, sendirian, Adrian tak pernah berpikir menjadikan foto-foto itu sebagai pemanja fantasi liar. Memandangi foto perempuan itu dengan gairah, lantas menyentuh dirinya sendiri hingga mengeluarkan air mani secara sia-sia. Tidak pernah.
Itu hanya nikmat sementara. Sekejap. Tidak niat, tidak minat. Buat apa? Adrian ingin bahagia selamanya dengan Sabrina. Bukan membayangkan hal semu yang indah, tetapi bertahan beberapa menit saja.
Ah, Sabrina yang terperangkap dalam foto-foto dilaminating itu tak pantas ternoda, bahkan sekadar gambarnya saja. Padahal, tidak nyata, cuma figur dua dimensi tak bergerak. Namun, Adrian tetap tidak mau menodai kesuciannya.
"Jujur... aku jenuh sama kamu, Adrian. Kita nggak cocok. Orang-orang bilang kita nggak cocok."
Adrian tidak tahu. Sudah lima tahun berlalu, tetapi masih tidak tahu. Di mana letak ketidakcocokan itu? Setahunya, ia mencintai Sabrina dengan segala rasa bergemuruh. Apanya yang tidak cocok? Ia berkenan menjadi apa pun yang Sabrina mau, berkenan berkelana ke mana pun bila Sabrina suruh. Di mananya yang tidak cocok?
"Kamu kok bilang gitu, Sayang? Kamu nggak cinta lagi sama aku?"
"Iya. Aku emang nggak pernah cinta sama kamu, Yan. Aku terima kamu karena kasihan aja sama kamu yang ngejar-ngejar aku terus. Apalagi... kamu egois, posesif, cemburuan nggak jelas. Aku capek kadang jelasin hal-hal sepele ke kamu, tapi kamu tetap aja curiga-curiga terus, nanya terus, ragu terus. Apa sih, Yan? Hidupku nggak kamu doang isinya. Orangtua dan teman-temanku juga bilang, aku harusnya cari laki-laki yang lebih dewasa. Aku yang salah udah terima kamu, harusnya kita nggak pernah ada hubungan lebih sejak dulu."
Adrian masih ingat, selalu ingat, tidak bisa tidak ingat, betapa sakit hatinya menerima ujaran padat menyesakkan itu dari Sabrina. Rasanya seperti dihantam batu bata tepat di dada, lalu mencederai organ-organ di dalamnya.
"Rin? Astaga, aku bisa berubah. Maafin aku. Aku nggak mau putus sama kamu ya, Rin...."
"Nggak perlu berubah, Yan. Kita sampai di sini aja. Maaf kalau aku sering ngerepotin kamu. Aku harap kamu bisa lupain aku dengan cepat dan bertemu perempuan yang baru."
"Aku nggak mau perempuan baru."
"Udah, Yan. Jangan diperpanjang terus."
Orang-orang mungkin terlalu gegabah menilai. Terlalu banyak oknum yang ikut campur dalam percintaan Adrian dan Sabrina. Siapa tadi katanya? Orangtua dan teman-teman?
Sialan. Adrian masih ingat nama-nama teman Sabrina—tidak dengan orangtua Sabrina sebab belum sempat di tahap berkenalan. Pasti 'teman-teman' itu yang sekonyong-konyong menghancurkan hubungannya dengan kekasih tercinta. Berakhir kandas di tengah jalan tanpa memedulikan Adrian yang terseret-seret di atas aspal panas.
Tapi kalau boleh jujur, ada kejanggalan yang selalu Adrian pikirkan bahkan hingga sekarang. Cara Sabrina memutuskannya hari itu. Caranya bicara, caranya duduk dan menunduk, cara perempuan itu menangis sambil bertutur.
Entah. Mungkin Adrian yang terlalu percaya diri. Namun, ia lihat Sabrina seperti tidak sungguhan 'membenci'. Perempuan itu lebih seperti menyetor hafalan dari sebuah teks tertulis dibandingkan mengutarakan isi hati. Terlalu lancar dan kurang ekspresif—selain menangis.
Entah. Mungkin Adrian yang terlalu positive thinking. Namun, ia lihat Sabrina juga tersakiti. Perempuan itu benar-benar seperti menghafal skrip tanpa punya bakat ekting. Ujaran-ujarannya menohok, mengoyak hati. Namun pada ekspresi, seolah Sabrina yang lebih menanggung pedih.
Adrian tidak tahu. Yang jelas, ia sudah gugur. Sabrina meninggalkan saat kebun cintanya berbunga subur. Ia ditinggalkan secara keji ke luar negeri, tak lagi dihubungi, diblok, hingga seluruh kebunnya mati dan tandus.
Namun, masih tersisa satu bunga kecil yang sulit luput. Itu cinta kecil Adrian yang disimpannya dalam relung. Tidak untuk dipertontonkan, tidak untuk dijadikan bahan cerita, apalagi kebanggaan yang bikin malu. Tapi kendati bunga itu kecil, ia terus tumbuh, belum kunjung layu.
Rokok Adrian habis. Abunya mengotori marmer warna hitam, sedikit aksen ivory. Kemudian, teringat ucapan papanya tadi pagi.
"Oke. Mau kan kenalan sama anak temannya Papa itu?"
"Iya, boleh, Pa."
"Kamu sudah 30 tahun, sudah mapan, tinggal cucu saja yang belum bisa kamu kasih ke Papa."
"Iya, Pa."
Adrian menunduk saja dan tidak menolak. Ia mau membuka kesempatan. Mana tahu 'wanita baru' ini dapat mencabut bunga kecil untuk Sabrina dari hatinya, lalu menanam kebun baru yang asri tanpa duka. Adrian mau mencoba walau pasti akan berat.
To be continued🕊
.
.
.
.CATATAN:
Selamat lebaran!!! Mohon maaf lahir dan batin untuk semua Bebeb2ku😋🥰😙😘🤗Aku ada cerita marriage life lagi, nih. Ini cerita marriage life kedelapanku💕 (CEK DI READING LIST-KU BUAT LIAT YANG LAINNYA, YA). Boleh yang belum follow, bisa follow aja dulu biar gak kehilangan jejak purpleliyy💜
Cerita ini murni buatan purpleliyy. Jika ada kesamaan dalam bentuk apa pun, itu hanya sebuah kebetulan. Silakan tambah ke perpustakaan jika berminat membaca cerita selanjutnya🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️
RomanceLima tahun sudah pasca Sabrina memutuskan Adrian. Alasannya, ingin punya pendamping lebih dewasa dibanding Adrian yang katanya posesif, egois, dan suka mengekang. Adrian begitu sakit hati diputuskan sepihak, tapi mencoba tegar dan paham. Ia masih sa...