31 - Embun Bening

11K 573 90
                                    

Suara mengejan kuat, teriakan, erangan, dan napas terengah-engah Sabrina melintasi memori dan terngiang di telinga Adrian. Peluh di dahi dan leher, bibir yang nyaris pucat, serta mata sayu kelelahan istrinya. Segala tentang hal-hal persalinan delapan bulan lalu kerap terbayang-bayang, bahkan sekarang ini tengah terbayang. Belum lagi pemandangan pintu keluar Genta yang Adrian saksikan secara langsung dari dekat. Tentu saja ia tidak takut darah, tidak jijik pada yang begituan. Hari-hari melihat hal serupa, bahkan yang lebih-lebih parah. Namun, momen malam itu beda. Mencekam sekali harus melihat istri sendiri mempertaruhkan nyawa.

Dokter gigi yang juga dokter bedah mulut itu menggenggam tangan istrinya, membiarkan jari-jemari serasa mau patah diremas sebagai pelampiasan. Ia sesekali mengintip ke jalur keluar Genta karena tegang, penasaran, tidak sabar ingin Sabrina cepat-cepat berhenti kesusahan, sambil sangat ngilu dan sesak napas juga terus terang.

Ah, pokoknya terlalu menegangkan jika dijelaskan. Yang pasti, peristiwa itu membuat cinta Adrian kepada istrinya berlipat ganda. Sayang dan hormat kepada ibunya pun bertambah tebal.

“Kalau nanti Genta udah bisa ngomong S sama R, apalagi udah bisa chatting sama teman-teman, terus Genta bandel sama Mami, Papi bakal marah besar banget. Ngerti, nggak?” Adrian bertanya sambil menggendong bayi delapan bulannya, di halaman rumah luas yang disirami udara pagi hangat.

Genta menyengir dengan telunjuk dalam mulutnya. Ia menganggap ayahnya tengah bercanda.

“Apa senyum-senyum? I'm warning you, Dude! That wasn't a joke.” Sang ayah marah pura-pura, lalu menggelitik perut gembil anaknya yang pagi-pagi sudah bangun saja. Padahal, belum juga sekolah.

Genta tergelak geli karena gelitikan papinya. Ia mana tahu pria itu serius atau tidak. Yang ia tahu, sang ayah kelihatan kocak, makanya bayi itu terkikik-kikik saja.

Pukul enam pagi seperti biasa. Sabrinaㅡistri cantik Adrian sudah rapi dengan pakaian gurunya. Ia keluar dari rumah, tampak menghampiri suami dan anaknya yang tengah bercengkerama di halaman dekat mobil yang tengah dipanaskan.

“Udah siap, Sayang?" Adrian menyambut dengan senyuman. "Mbak Rika mana?” Lalu menanyakan babysitter Genta.

“Udah ke sini. Mana Pangerannya Mami? Sama Mami dulu sini.” Sabrina langsung mengambil Genta dari pelukan suaminya.

Genta tersenyum lebar, kemudian langsung memainkan kalung berliontin 'SA' kecil di leher ibunya, yang dibuat khusus enam bulan silam. Oh, cincin kawin dan cincin lamaran kedua di yacht setahun lebih silam, masih terpakai cantik juga di jari manis kanan dan kiri sang bunda.

“Aku habis kasih wanti-wanti ke Genta tadi.” Adrian melaporkan.

“Wanti-wanti apa?” Sabrina merapikan poni-poni lurus anaknya.

Sang ayah pun menceritakan, lantas Sabrina menertawakan. Suaminya itu memang ada-ada saja. Dibanding Sabrina, Adrian memang lebih banyak omong dan cerewet kepada Genta. Ia yang semasa kehamilan sering membacakan buku-buku cerita untuk anaknya, kini sering merasa kalah telak dari suaminya.

Memang iya. Setelah menjadi seorang ayah, makin aktif saja mulut Adrian. Bahkan selama bermain dengan Genta, selain candaan dan ujaran random, sang ayah banyak menciptakan lagu-lagu spontan lucu untuk putranya. Namun itu bagus, lho. Supaya kemampuan komunikasi Genta terasah dan sang anak dapat merasakan banyak kasih sayang.

Tak lama kemudian, babysitter Genta datang hendak mengambil alih anak yang diasuhnya. Soalnya, mami Genta mau bekerja dan papinya mengantarkan seperti biasa.

Sebelum ke rumah sakit di siang hari, Adrian punya waktu untuk bermain dan menjaga Genta. Lalu, menyempatkan waktu untuk tidur satu-dua jam sebelum berangkat di jam biasa. Lalu siang menjelang sore hingga seterusnya, Genta akan bertemu maminya lagi dan kalau mujur dan sedang bangun, Genta akan bertemu papinya di tengah malam.

BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang