"Mas...."
"Ya?"
Sabrina menatap refleksi diri pada cermin satu badan. Hadap kiri dan kanan berganti-gantian, memperhatikan arah perut yang belum tertutupi apa-apa. Wanita hamil sembilan bulan itu masih memakai rok berkaret longgar dan bra saja. Belum pakai atasan karena perhatian terdistraksi oleh garis-garis tak diinginkan.
"Perutku...," jawab Sabrina untuk Adrian, dengan pandangan masih terpatri di pantulan dirinya.
"Kenapa perutnya, Sayang?" tanya Adrian, mengalihkan tatap dari ponsel. Menegakkan posisi yang sebelumnya merebah santai.
"Ada stretchmark-nya, Mas." Sabrina terdengar murung. Wajahnya pun tidak tersenyum.
Dari atas tempat tidur, Adrian memandangi istrinya, rautnya, juga perutnya. Kemudian, merasa kasihan dan sayang. Ia pun turun dari ranjang.
"Mana?" tanya pria itu lembut ketika sampai di sebelah Sabrina, sama-sama di depan cermin sekarang. Ia memeriksa perut besar istrinya, lantas menemukan. "Oh. Ini, ya?"
Sabrina mengangguk, mengawasi wajah Adrian terus. Ingin memperhatikan dan menunggu-nunggu. Adakah gurat kecewa, jijik, atau tak suka di paras suaminya itu?
"Padahal, udah sering aku pakein krim dan oil pelembap yang katanya bagus buat cegah stretchmark," ujar Sabrina lagi, melihat perutnya yang tengah dielus-elus halus suaminya, "tapi kok... tetep ada, ya? Padahal, harganya mahal...," lanjutnya masih sedih.
Sambil mengusap-usap sayang perut Sabrina, Adrian belum mengeluarkan respons. Terus memperhatikan istrinya yang tampak masih punya uneg-uneg untuk dibagikan.
"Aku nggak merhatiin, deh. Kayaknya dari beberapa hari lalu, tapi aku baru sadar sekarang soalnya dia di bawah gini, kan. Nggak kelihatan kalau aku lihat dari atas gini, Mas. Aku jarang ngaca...," jelas Wanita itu lagi dengan nada murung yang masih sama.
Adrian tersenyum tidak tega. "Sayang. Mau semahal apa pun obat, tetap nggak menjamin cocok tidaknya obat tersebut sama penggunanya. In some cases, ada yang justru berhasil sama obat murah saat dia beli yang jutaan, malah nggak ada hasilnya. Berlaku sebaliknya," ujar sang kekasih dari segi medis.
Sabrina makin pundung mendengarnya. Berarti, ia orang tak beruntung itu, ya? Sudah beli mahal, tapi tidak berkhasiat.
"Tapi nggak terlalu banyak." Adrian menatap ke bawah, pada stretchmark istrinya. "Nggak apa-apa. Tetap cantik, kok," tambahnya, menghibur dengan tulus.
Manik Sabrina lantas berpindah, kini menyoroti wajah Adrian. Hidung mulai bereaksi, terasa pedih dengan mata yang direndami cairan.
"Anggap aja kenang-kenangan, Sayang. Tapi, pasti bisa hilang, kok. Ada treatment-nya pasti. Oke?" Adrian tersenyum, mengusap dahi dan kepala istrinyaㅡyang matanya sudah berkaca-kaca begitu.
"Mas, sebenarnya aku nggak masalah," kata Sabrina sedikit bergetar.
"Hm?"
"Mau punya bekas stretchmark atau nggak, sebenarnya aku nggak masalah, Mas. Masalahnya...," Sabrina menjeda sebentar, mengulum bibir menahan sedihnya, "aku nggak enak sama kamu."
"Nggak enak?" Adrian mengerutkan dahi.
Sabrina mengangguk.
"Nggak enak gimana?"
"Perutku nanti berubah, nggak mulus lagi. Malu aku dilihat sama kamu. Pasti nggak menarik lagi...," jawab Sabrina dengan segala kerendahan diri.
Adrian memiringkan kepala tanpa sadar. "Rin? Aku nggak pernah kepikiran sampai ke sana," gelengnya lembut dan heran. Ia pandangi istrinya beberapa detik hingga membuat keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️
RomanceLima tahun sudah pasca Sabrina memutuskan Adrian. Alasannya, ingin punya pendamping lebih dewasa dibanding Adrian yang katanya posesif, egois, dan suka mengekang. Adrian begitu sakit hati diputuskan sepihak, tapi mencoba tegar dan paham. Ia masih sa...