27 - Seventh

10.5K 631 120
                                    

Beberapa bulan kemudian....

".... Terus, terus? Gimana Dokter Aleta bilangnya?" Adrian bertanya, mengangkat tatapan dari dua lembar foto kecil yang mencetak dua gaya foto USG anaknya.

Diinformasikan oleh Sabrina, anak mereka berjenis kelamin lelaki dengan berat yang sedikit di atas standar, alias gemuk berjaya. Kata dokter, itu didukung oleh Sabrina yang tidak pernah muntah-muntah sejak trimester pertama. Jadi, nafsu makan tetap terjaga.

"Katanya, 'laki-laki ini, Bu'. Aku langsung, 'Hah? Laki-laki, Dok?' Terus dia senyum, 'Iya, Bu. Ini, nih. Coba deh dilihat, ada belalainya kecil di sini'. Aku langsung ketawa sambil ngeliatin layar." Sabrina menceritakan pengalamannya kemarin malam kepada sang suami. Sangat ekspresif dan berseri-seri.

Keduanya tengah duduk di kursi makan, bersebelahan. Sarapan di pukul setengah enam lewat sebab dipukul enamnya, sudah mesti meluncur ke jalanan. Jam belajar mengajar di SMP Nusa Karya adalah jam tujuh tepat.

Sambil memakan sereal, wajah sang suami tersenyum, bahkan terkekeh pelan juga. Namun, iri dan sedih pula lantaran selalu tak dapat menemani istrinya melakukan pemeriksaan. Kita tahu jam kerja Adrian dari jam berapa sampai jam berapa, bukan?

Sebetulnya, Sabrina memeriksakan kandungan di Rumah Sakit Meredian jugaㅡtempat suaminya bekerja. Namun, area rumah sakit itu besar dan luas. Jadwal pemeriksaan kandungan Sabrina selalu bentrok dengan jadwal bekerja Adrian yang berada di sudut lain Meredian.

"Tapi aku iri banget sama Puri, sumpah. Nggak pernah aku seiri ini sama Puri," ucap Adrian selanjutnya. Sedikit lagi, sereal dengan susu rendah lemaknya tandas.

Oh ya, Puri itu anak Bu Kokom, koki di rumah Adrian.

"Kenapa? Oh, aku tahu. Pasti karena Puri yang selalu nemenin aku periksa, kan?" Sabrina menebak, lalu meminum susu hamil rasa vanila manisnyaㅡtidak mau rasa lain.

"Betul! Aku tuh kayak...," dua tangan Adrian menyentuh kepala, "kayak seiri itu sama Puri. Itu anakku, tapi malah sama Puri terus kamu periksanya, dan Pak Janu juga, tuh."

Sabrina terbahak melihat suaminya mengomel-omel. "Ya ampun, By... santai aja. Tetap anak kamu, kok. Dedeknya juga ngerti papinya lagi kerja." Ia mencoba menghibur.

Namun, iras Adrian masih tertekuk menatap hidangan-hidangan sarapan di atas meja makan.

Omong-omong, semenjak Sabrina hamil, Adrian jadi empat tingkat lebih lebai dan drama. Juga, sangat sensitif perasaannya. Mudah sedih dan merajuk, tapi habis itu tidak enakan. Mirip Adrian yang dulu kala, yang belum sedewasa sekarang.

"By." Sabrina memegang bahu Adrian, tapi sambil menahan tawa.

"Dokter Aleta nggak pernah nanya, 'Bu, kok suaminya nggak pernah nemenin? Suaminya care nggak sih, Bu, sama Ibu?'. Nggak pernah nanya gitu?" Adrian bertanya dengan tampang sebal pada dirinya sendiri.

Sabrina kembali terkikik. "Ya enggaklah! Ada hak apa dia nanya kayak gitu?"

Adrian menghela napas. "Ya kan bisa aja," suaranya melunak, kemudian mengambil sereal dari dalam toples, berniat menambahkannya sedikit ke dalam mangkuk yang susunya masih banyak.

"Nggak, kok. Aku bilang ke Dokter Aleta kalau suamiku dokter juga di Rumah Sakit Meredian dan jadwalnya selalu bentrok sama jadwal periksaku," jelas Sabrina.

"Kamu bilang suami kamu aku?" Adrian menengok. Ia sedikit bangga. "Gimana kamu bilangnya?"

Sabrina menahan senyum sejenak. "Gini, kebetulan dia pernah nanya sekali, pas pemeriksaan bulan lalu kalau nggak salah. Dia tanya, suami aku ada atau nggak, terus aku bilang, 'Nggak ada, Dok. Suami saya dokter juga di sini, Dokter Adrian. Kenal, nggak?' Terus kata dia, 'Oooh, Dokter Adrian yang gigi dan bedah mulut?' Aku bilang, 'Iya, betul'. Terus katannya, 'Oh iya, pantes. Dokter Adrian padat memang'." Ia menjelaskan dengan sabar dan senyuman. Memaklumi suaminya yang sangat ingin menemani, tapi juga harus profesional pada pekerjaan.

BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang