Minta vote dan komentarnya di bab ini juga, ya. Kalau mau promosikan cerita ini ke teman-temanmu, ke sosmed, ke mana aja, boleh banget aaaawww😘😘😘
🕊 🤍 🕊 🤍 🕊 🤍
Ponsel Adrian berdering panjang. Empunya sedang berkutat dengan lembaran-lembaran kertas yang habis dicetak, bertumpuk, dan mesti disusun sesuai. Itu beberapa data riset yang akan terkandung di proposal tesisnya. Pemuda 25 tahun tersebut melirik ke arah ponsel di meja, di sebelah mesin pencetak dalam kamar serba ada miliknya.
Si Cantik💕 is calling....
Secepat kilat, ia raih benda pipih tersebut. Diangkat dengan kecepatan cahaya pula panggilan itu.
"Halo, Sayang?"
Suara manis penuh antusiasme keluar. Wajah Adrian tegang campur senang. Sudah satu bulan lebih pacarnya itu sulit diajak bertemuㅡselalu ada alasan. Juga, sulit dihubungiㅡpanggilan jarang diangkat, pesan jarang dibalas.
"Yan."
"Iya? Eh, kamu apa kabar?"
Di ujung panggilan sana, Sabrina menggigit bibir, menahan-nahan rasa berat. Senyuman Adrian dapat ia dengar. Betapa lelaki itu cerah ceria hanya karena dihubungi olehnya. Lantas, bahu makin terasa ditimpa batu besar, dada ditumbuk dengan bogeman kasar.
"Baik. Kamu sibuk?"
Adrian melihat printer yang masih mencetak beberapa halaman lagi. Iya, dia sibuk sekali. Sehabis ini pun, masih banyak hal yang mesti diurusi.
"Kedengeran, nggak? Aku lagi ngeprint, tapi udah selesai, kok. Ada apa, Sayang?"
"Aku mau ketemuan, tapi nggak lama."
Adrian mengerjap. Senyuman di bibirnya memudar. "Boleh... di mana?" tanyanya, tiba-tiba ragu.
"Di Taman Mekariya. Bisa, kan?"
"Bisa. Mau... ngapain ya, Rin?" Adrian agak bingung, ditandai suara yang menghalus. Belum apa-apa, telah berpikir jauh. Namun, tak mau melanjutkan pikiran buruknya itu.
"Nanti kamu juga tahu. Jam delapan, ya. Aku udah mau siap-siap juga."
Suara Sabrina datar dan dingin, tiada nada yang biasanya manis. Tanda apa ini? Adrian jadi khawatir. Namun, tidak mau dulu berkecil hati. Siapa tahu Sabrina ingin memberi kejutan baik? Pura-pura cuek, kemudian nanti Adrian diberi hadiah yang berkesan manis.
"Bisa. Iya...."
"Oke."
"Iya, see you."
Sabrina tak membalas. Biasanya pasti membalas, "see you too, Baby" atau semacamnya, tapi ponsel itu cepat sekali ditutup seolah sudah malas memperpanjang obrolan dengan Adrian. Padahal, mereka lama tidak bersua untuk ukuran orang yang berpacaran satu kota.
Adrian menurunkan ponsel dari telinga, menatap kosong lembaran-lembaran kertas berisi sebagian hasil risetnya. Sudah tercetak semua, tinggal dirapikan ke dalam map berisi modalnya membuat tesis yang masih belum selesai.
Hawa AC kian terasa dingin, menusuk kulit Adrian hingga ke aliran darahnya. Melihat jam dinding kamar besar, pukul setengah delapan terpatri di sana. Tiga puluh menit saja waktunya untuk bersiap. Sungguh mendadak, dan yang mendadak-mendadak begini biasanya tidak mengenakkan. Namun seperti tadi, Adrian tak mau dulu berpikiran macam-macam. Maka, ia bergegas dan berbenah untuk segera berangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️
RomanceLima tahun sudah pasca Sabrina memutuskan Adrian. Alasannya, ingin punya pendamping lebih dewasa dibanding Adrian yang katanya posesif, egois, dan suka mengekang. Adrian begitu sakit hati diputuskan sepihak, tapi mencoba tegar dan paham. Ia masih sa...