Adrian menjalin langkah, dari dekorasi serupa pelaminan ke titik di mana papanya duduk bersama orang yang sungguh tak diundang. Sesekali, mengangguk dan tersenyum saat disapa tamu lain, hingga sampailah di dekat Bismo dan Rudy yang entah tengah mendiskusikan apa.
"Papaㅡ"
Telepon genggam Adrian pada saku surjannya berdering kuat. Selalu punya kebiasaan mengangkat tanpa menunda, tangan pria berkacamata itu segera meraih apa yang tengah berbunyian.
"Halo."
"Selamat sore, Dokter Adrian."
"Ya, sore."
Bismo dan Rudy menatap Adrian yang diam di tempat, tidak lanjut maju lantaran berteleponan. Jarak Adrian dan Bismo serta Rudy satu setengah meter.
"Pingsan atau sadar? Jalan napasnya gimana?"
"Pingsan, Dok. Masih bagus, cuma ada pendarahan di dalam kepala karena remuk. Dokter Marwan bilang, hubungi Dokter Adrian juga."
"Oke, saya ke sana. Lima belas menit. Siapin aja ruang operasinya."
Telepon berirama tergopoh-gopoh itu pun ditutup Adrian. Lantas, ia tatap bapak-bapak beda umur di depannya.
"Emergency, Yan?" tanya Bismo sigap.
Adrian mengangguk, lalu menatap Rudy. "Padahal, baru mau ikutan ngobrol. Tapi saya mesti buru-buru," katanya seolah bicara pada Rudy saja.
"Ya sudah sana, buruan. Mau ganti baju lagi?" Bismo menanggapi, ikut tergesa.
"Nggak, mau langsung. Pasiennya udah nggak bisa nunggu Yan ganti baju," ujar Adrian seraya meminta tangan kanan sang ayah.
"Ya, hati-hati. Istrimu kasih tahu," balas Bismo cepat-cepat.
"Iya, nanti Yan telfon," ucap Adrian setelah cium tangan, kemudian melangkah lebar meninggalkan perkumpulan dua orang tersebutㅡtanpa melirik Rudy sedikit pun.
Bismo memandangi Adrian yang berlari kecil menjauh, bahkan tak berkesempatan bertegur sapa dengan 'tamunya'. Ah, itu sudah biasa. Anaknya bahkan pernah cuma pakai baju tidur, belum mandi, dan di jam tiga pagi saat mesti bergegas ke rumah sakit karena pasien darurat.
Sambil berjalan menuju kamar tidur dan menaiki tangga untuk mengambil kunci sepeda motor, Adrian menghubungi Sabrina via telepon.
"Halo, Mas? Eh, kok aku lihat malah masuk rumah?"
"Halo. Oh, ini mauㅡya ampun salfok banget sama panggilannya." Adrian salah tingkah, bersamaan dengan ketibaan di lantai dua.
Kekehan Sabrina terdengar. "Biasain ya, Mas Adrian."
"Iya, Cinta." Adrian melembut, berjalan menuju kamar tidur. "Ini, aku izin ke rumah sakit ya, Sayang. Ada emergency. Aku sampe nggak jadi pamer di depan Rudy."
"Ya ampun. Tapi udah terduga sih, soalnya lihat kamu langsung buru-buru masuk rumah setelah terima telfon. Iya, iya. Untung udah selesai acaranya, ya."
"Nggih, Sayang. Nanti kita lanjut, ya." Adrian membuka pintu kamarnya dengan sidik jari, lantas memasuki kamar.
Sabrina terkekeh mendengar kata 'nggih' suaminya. "Iya, Mas By. Goodluck, ya. Semoga lancar semuanya."
"Amin...." Adrian mengarahkan mata ke salah satu gantungan pada kamar.
Tak lama, telepon pun ditutup. Adrian menyambar kunci sepeda motor, dompet, lalu kembali ke luar kamar tidur. Menutup pintu, kemudian kembali turun. Berangkat menggunakan sepeda motor, surjan, dan jarik batik... tunggu dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️
Lãng mạnLima tahun sudah pasca Sabrina memutuskan Adrian. Alasannya, ingin punya pendamping lebih dewasa dibanding Adrian yang katanya posesif, egois, dan suka mengekang. Adrian begitu sakit hati diputuskan sepihak, tapi mencoba tegar dan paham. Ia masih sa...