Sabrina tercengang. Jiwanya terguncang hebat. Serindu-rindunya kepada Adrian, tidak pernah ia membayangkan akan 'dikenalkan' alias dijodohkan dengan orang itu juga—Adrian Satria Wijanitra, yang namanya masih tertoreh pekat di permukaan hatinya.
Namun, situasi ini terlalu berbelit. Tanpa persiapan mental mumpuni, lelaki itu duduk di hadapannya setelah mati-matian ia hindari bertahun-tahun ini. Sabrina kini merasa tercekik. Pikirannya tidak lagi berjalan cantik. Rasanya ingin menghilang dari pertemuan lantaran tidak mampu mengontrol diri.
Sedangkan Adrian, perasaannya tidak dapat dijelaskan lurus. Campur aduk seperti bubur ayam yang diaduk, tidak bisa lagi didefinisikan satu-satu. Yang jelas, perasaan cinta dan sakit hati mendominasi langsung.
Adrian mencintai Sabrina, susah melupakan mantan lima tahunnya tersebut. Namun, tidak munafik juga bahwa Sabrina telah melukainya begitu dalam selama bertahun-tahun. Memutuskannya tiba-tiba dengan alasan buruk, mengejeknya, kemudian memblok dirinya di mana pun alih-alih setidaknya tetap berteman setelah putus.
"Kalian kenapa? Kok kayak kaget banget? Udah pada kenal?" Bismo bertanya, menatap putranya dan putri temannya bergantian.
Semua orang kebingungan.
Adrian akhirnya mengedipkan mata, menghela napas setelah merasakan dadanya begitu berat. Terlalu lama menahan keterkejutan. Ia alihkan tatapan, membuang kebahagiaannya bertemu Sabrina. Akal logis dan perasaan cinta pria itu berkelahi parah dalam sistem tubuhnya.
Sabrina menunduk. Biasanya, seorang guru Bahasa Indonesia SMP tidak akan kesulitan bila disuruh menyusun kata, kalimat, paragraf, atau pidato sekalipun. Akan tetapi, kini lidahnya kelu dan otaknya lumpuh. Bisu, tidak bisa merangkai satu kalimat pun.
"Iya. Sabrina teman lamaku, Pa. Makanya... agak kaget," ujar Adrian, tersenyum dan tertawa paksa, berintonasi lembut dan sopan.
"Oh, teman lama?" Ayah Sabrina merespons dengan muka tercengang, kemudian menyengir seraya menengok samping pada putri pertamanya. "Bagus, dong? Ternyata Rina udah kenal sama Adrian? Jadi nggak susah-susah lagi buat kita kenalin," sambung beliau senang.
Terdengar kekehan berat khas bapak-bapak dari mulut Bismo, disusul senyuman semringah dari Fahmi, juga senyum tipis lega dari bibir Damayanti—ibunda Sabrina, tanpa tahu apa yang mendera putra-putri mereka.
Sabrina tersenyum paksa amat tipis. Matanya terus ke arah rendah, tak bisa menatap Adrian yang justru terus menatapnya—diam-diam pria itu menyimpan sakit hati dan pertanyaan banyak sekali.
Adrian berdeham. "Tapi, saya umurnya lebih muda satu tahun dari Sabrina," ungkapnya kepada orangtua Sabrina.
Sabrina melirik sekilas, lalu kembali merendahkan pandangan. Jantung masih berpacu cepat, keringat turut melembapkan dua telapak tangan. Apa maksud Adrian tiba-tiba menyinggung perbedaan umur mereka?
Adrian hafal kalimat putus Sabrina yang sudah lima tahun lalu terjadi. Ada bagian di mana Sabrina mengatakan orangtuanya menyuruh mencari pasangan lebih dewasa. Berarti, Adrian mungkin tidak akan disukai karena ia lebih muda. Apalagi, Sabrina bilang, orang-orang terdekatnya mengatakan mereka tidak cocok. Makanya, Adrian menyindir perihal umur mereka.
"Ah, cuma setahun lebih muda aja. Kata orang-orang sekarang, umur hanya angka," respons Fahmi tanpa beban.
"Beda setahun termasuk seumuran, kok," timpal Damayanti, ibunya Sabrina.
Wow. Begitukah? Adrian tercengang dalam diam. Apa dalam waktu lima tahun prinsip orangtua Sabrina telah berubah?
Atau... Sabrina saja yang dulu mengada-ada?
Bismo terkekeh rendah lagi. Pria kaya itu senang akan suasana percakapan ini. Sebelumnya, ia pikir akan sedikit sulit. Tapi kalau sudah kenal begini, pasti perjodohan hingga pernikahan anaknya dan anak Fahmi—teman bisnisnya, akan makin mulus terselenggara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY, LET'S HUG AGAIN ✔️
RomanceLima tahun sudah pasca Sabrina memutuskan Adrian. Alasannya, ingin punya pendamping lebih dewasa dibanding Adrian yang katanya posesif, egois, dan suka mengekang. Adrian begitu sakit hati diputuskan sepihak, tapi mencoba tegar dan paham. Ia masih sa...