3.

3.5K 239 2
                                    




Haechan mempercepat jalannya agar segera sampai di rumah flat kecil yang sudah 10 tahun ini ia sewa. Langkah besarnya jauh meninggalkan langkah kecil Chenle yang terlihat terengah-engah dibelakang sana. Tak mengindahkan teriakan-teriakan kecil sang buah hati yang nampak kelelahan.

Segera setelah ia memasukkan beberapa kode kunci rumah ia masuk begitu saja dan menuju dapur. Dibantingnya kantong belanjaan yang sedari tadi ia bawa. Nafasnya memburu, pandangannya untuk sejenak nampak tak fokus.

"Papa..." Chenle merengek saat berhasil menjegal pintu rumah yang hampir tertutup.

"Papa marah ya?" Chenle berjalan ke arah dapur dimana sang papa tengah berdiri di dekat meja makan. "Kenapa dari tadi pertanyaan Chenle tidak dijawab?"

Haechan mendengus tanpa menatap Chenle. "Papa kan sudah pernah bilang. Jangan pernah sembarangan memperkenalkan dirimu pada orang asing!" Intonasi Haechan meninggi membuat Chenle berjengit kaget.

"Tapi papa mengenalnya. Berarti dia bukan orang asing kan?"

"Chenle mau melawan papa?!"

"Katakan alasannya. Memangnya kenapa sih? Papa aneh sekali selalu melarangku berkenalan dengan orang asing." Chenle menunduk matanya mulai berkaca-kaca. Ia sadar sudah melawan papanya. "Bahkan aku tidak boleh mengatakan kalau aku anak papa."

"KALAU PAPA BILANG JANGAN, MAKA JANGAN LAKUKAN!!!"

"Papa.."

Chenle tersentak. Matanya memanas mendengar bentakan itu. Ini kali pertamanya dibentak oleh sang papa. Tenggorokannya terasa menyempit hingga air liurnya tak dapat tertelan.

"Masuk ke kamarmu sekarang!"

Chenle terisak sembari berjalan menuju pintu kamarnya. Tepat setelah pintu kamar Chenle tertutup kaki Haechan terasa melemas. Ia jatuh terduduk begitu saja dilantai. Airmata lolos begitu saja tanpa bisa ia cegah.

"Maafkan papa, Chenle." Kini giliran Haechan yang terisak. Sebelah tangannya membekap mulut agar Chenle tak mendengar bahwa ia juga ikut menangis.

"Papa lakukan ini untuk kebaikanmu."

Ingatan Haechan melayang pada kejadian beberapa hari lalu. Saat ia harus kembali bertemu dengan Mark yang sukses ia hindari selama 10 tahun ini. "Harus sejauh apalagi aku pergi agar bisa menghindarimu? Aku lelah, Mark."

Isakan Haechan terhenti. Suara getaran ponsel di atas meja menarik atensinya. Tanpa bangkit dari posisi duduknya ia meraih benda persegi itu. Helaan nafas berat terdengar tatkala ia melihat sebuah nama yang tertera disana.

'Ayah'


Dengan sebelah tangannya Haechan menghapus sisa-sisa jejak airmatanya. Ia berdehem untuk menormalkan tenggorokan juga suaranya lalu bangkit dan masuk ke dalam kamarnya yang terletak cukup jauh dari kamar Chenle.

"Hallo ayah." Sapanya lebih dulu.

"Halo Chanie!" Suara antusias dari seberang sana membuat pelupuk mata Haechan kembali penuh. "Bagaimana kabarmu nak?"

"Baik ayah." Haechan menarik nafas sejenak sembari mengusak rambutnya. "Ayah sendiri bagaimana? Maaf Haechan belum bisa pulang."

Dulu sekali sebelum ia memiliki Chenle, Haechan akan pulang setiap dua bulan sekali. Kini dia harus menekan hasrat rindu akan orangtuanya demi Chenle. Ya. Sudah lebih dari 1 dekade Haechan hanya akan pulang satu tahun sekali. Tanpa Chenle tentunya.

Benar. Haechan menyembunyikannya. Ayah dan ibunya tak tahu jika kini mereka telah memiliki cucu. Kenapa? Haechan tak ingin mengecewakan siapapun. Biar ia yang menanggung semua kecewa ini sendiri, pikirnya. Biarlah orangtuanya tahu kalau Haechan anak baik yang bisa menjadi kebanggaan keluarga. Chenle pun begitu, yang ia tahu Haechan adalah satu-satunya orangtua yang ia miliki. Tanpa ayah, tanpa kakek nenek, tanpa keluarga lainnya.

KEKASIH TUAN MARK (Markhyuck x Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang