Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Haechan sudah membariskan koper-kopernya di depan pintu. Hanya tinggal menunggu Minjeong yang akan menjemput dan mengantar mereka ke tempat tinggal baru Haechan. Flat sempit yang hanya ada 2 ruang kamar itu kini sudah terlihat rapi, karena hampir sepertiga barangnya sudah tak lagi di tempatnya. Bahkan Haechan sudah menutupi sofa dengan kain putih.
Hari ini mereka pindah. Haechan sudah menemukan tempat lain yang jaraknya 20 menit dari tempat tinggal mereka sekarang. Masih di sekitaran Seoul, hanya saja dia ingin menghilangkan jejak dari Mark. Semakin jauh semakin baik untuknya dan Chenle.
Haechan telah mengetuk pintu kamar Chenle beberapa kali. Namun anak semata wayangnya itu tak kunjung juga keluar, jawaban pun tak ia terima.
"Chenle.." panggil Haechan.
"....." tak ada jawaban.
Haechan memutuskan untuk masuk, ia memutar knop pintu yang memang tak terkunci. Ruangan kamar Chenle terlihat masih gelap, bisa dipastikan jika si empunya kamar memang belum bangun. Haechan menarik tirai jendela, membiarkan cahaya matahari masuk menerangi ruangan.
Disana terlihat Chenle masih meringkuk di atas kasurnya dengan selimut yang nyaris menutup hingga puncak kepala."Chenle bangun sayang. Sebentar lagi kita berangkat."
Chenle masih meringkuk di tempat tidur seolah tak terusik dengan suara papanya. Haechan duduk di tepi ranjang, tangannya mengguncang pelan bahu Chenle pelan.
"Chenle kenapa masih tidur?"
Haechan menyingkap selimut yang menutupi kepala Chenle. Tak ada perlawanan, namun jantung Haechan nyaris melompat dari tempatnya. Matanya menangkap keadaan memprihatinkan sang anak. Wajah Chenle memerah, bulir-bulir keringat memenuhi dahinya hingga rambut hitamnya lepek. Bibir pucat pasi itu bergetar.
"Ya ampun.. Badanmu panas sekali!" Teriak Haechan. Telapak tangannya terasa terbakar saat menyentuh dahi Chenle.
"Pa..pa.. maafkan Chenle.. pa..man.. maaf.." racau Chenle.
Haechan ingin menangis rasanya. Segera ia merengkuh tubuh lemah Chenle dan membawanya beranjak dari sana.
"Kita ke rumah sakit sekarang ya sayang!"
Jujur ia sedikit kesusahan membawa tubuh Chenle sendirian turun untuk mencari taksi. Entah kenapa juga nomor Minjeong susah sekali untuk dihubungi. Sekarang Haechan sudah benar-benar menangis. Beberapa pasang mata di pinggir jalan mulai menatap ke arahnya. Chenle sudah tidak sadarkan diri di punggungnya. Ia bahkan tidak sadar jika melupakan sesuatu yang penting yang pasti akan membuatnya terluka. Sepatunya.
Haechan berlari begitu sampai di rumah sakit. Untung saja ia tak lupa membayar tagihan taksinya. Kakinya bergetar menahan berat tubuh Chenle. Sampai akhirnya ia harus tersungkur di depan pintu ruangan Instalasi Gawat Darurat.
"SIAPA SAJA TOLONG PUTRAKU!!!!" Haechan berteriak histeris sembari memeluk Chenle.
Ia duduk bersimpuh, kakinya sudah tidak bisa lagi di ajak kerjasama. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan Chenle. Tangan Chenle semakin terasa dingin dalam genggaman Haechan.
Beberapa pasien rumah sakit hanya bisa menatapnya tak berani membantu. Sedangkan para perawat entah kemana, tak ada satupun yang lewat dan membantu Haechan.
"Haechan?! Kenapa?! Ada apa dengan Chenle?!"
Seseorang berjas putih berlari menghampiri Haechan, tak lain dan tak bukan adalah Jeno. Jeno bersimpuh menatap bocah kecil keponakannya yang masih menggunakan piyama tidur terbaring lemas dipelukan Haechan.
"TOLONG PUTRAKU JENO!!"
"Kau tunggulah disini aku akan memeriksanya sebentar!"
Jeno beranjak memanggil beberapa perawat yang langsung membawa sebuah brankar. Dengan segera Jeno mengangkat Chenle dan membaringkan tubuh kecilnya disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKASIH TUAN MARK (Markhyuck x Chenle)
Romance"Hubungan diantara kita hanya sebatas pekerjaan. Jadi jangan berharap lebih dari itu." ~Markhyuck~