Manik mata kecil Chenle menatap Haechan yang sedari tadi berkutat di dalam kamar. Anak kecil itu hanya mampu berdiri di ambang pintu tanpa berani masuk. Wajah sang papa yang nampak masam sedikit membuatnya takut.
Mereka baru saja sampai beberapa menit yang lalu dari rumah sakit. Selama perjalanan pulang Haechan terus menggenggam tangan Chenle tanpa mengatakan sepatah katapun. Bahkan ia tak mempedulikan bocah kecil itu kesusahan mengikuti langkah lebarnya.
Bisa dibilang Chenle setengah di seret hingga sampai di rumah. Itu pun setelah sampai Haechan langsung meninggalkan Chenle dan sibuk keluar masuk kamarnya. Mengabaikan pertanyaan dan rengekan dari anak semata wayangnya.
Chenle menatap sendu pergelangan tangannya yang memerah, rasa nyeri mulai terasa menjalar disana. Chenle beranjak mencegat sang papa yang hendak keluar kamar. Rasa penasaran sungguh menguasainya, apalagi ketika mata kecilnya menatap lemari milik papanya baru saja dikosongkan.
"Papa... Papa sedang apa? Kenapa baju-bajunya dimasukkan ke koper?" Tanya Chenle.
Sungguh kali ini dia berharap mendapat jawaban.
"Kita pindah sekarang!" Jawab Haechan sembari berlalu melewati Chenle menuju meja ruang tamu untuk mengambil beberapa buku disana.
Chenle mengerutkan keningnya mendengar jawaban Haechan.
"Pindah? Kenapa tiba-tiba? Kalau pindah sekolah Chenle bagaimana?"
Chenle anak yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dia akan mempertanyakan semua hal bahkan sekecil apapun yang mengganggunya. Dan itu pun berkat didikan Haechan yang tak ia sangka menjadikannya bumerang untuk diri sendiri.
"Pokoknya kita pindah! Chenle harus dengarkan papa." Haechan meninggikan suaranya.
Mengabaikan Chenle yang nampak terkejut dengan bentakannya. Untuk kali ini ia tidak ingin dibantah, padahal nyatanya Chenle belum membantah satu pun ucapannya. Matanya memerah dan memanas, pandangannya perlahan mengabur karena airmata, namun tak sampai jatuh. Haechan frustasi."Memang kapan Chenle tidak mendengarkan papa? Chenle selalu mendengarkan semua kata papa. Bahkan berbohong sekalipun Chenle lakukan untuk papa."
Suara khas anak-anak Chenle ikut meninggi. Kali ini ia ingin memberontak, ia memiliki pemikirannya sendiri. Chenle merasa tidak bisa terus menuruti ucapan sang papa yang selalu tak memiliki alasan.
"Tidak! Chenle tidak mau pindah!"
Haechan menyugar rambutnya secara kasar."Chenle! Dengar kata papa! Kita harus pindah, ini untuk kebaikanmu!" Ia menghela nafas berat. Matanya memerah menahan tangis dan amarah.
Chenle menangis. Bibirnya bergetar, airmata sudah lolos begitu saja. Untuk pertama kalinya, benar-benar pertama kali dalam hidupnya dia beradu tatap dengan Haechan dalam kondisi menegangkan seperti ini.
"Papa selalu bilang semua untuk kebaikanku. Tapi tidak pernah mengatakan alasannya."
Suara Chenle melirih. "Apa karena paman Mark?"
Haechan tersentak, kaget. Chenle memanggil Mark dengan sebutan paman? Sudah sedekat itukah hubungan mereka?
"Papa ingin pindah karena Chenle berbicara dengan paman Mark?"
Haechan memejamkan matanya.
"Bagaimana kalian bisa saling mengenal? Chenle tidak mendengarkan apa kata papa ya? Papa kan berulangkali bilang jangan bicara dengan orang asing!"
"Paman Mark baik. Paman Mark yang menemani Chenle bermain basket saat papa kerja di luar kota."
Haechan menganga. Dia ingat sudah meninggalkan Chenle dalam pengawasan Minjeong, dan wanita itu jelas mengenal Mark beserta dengan sejarah buruk hubungannya dengan Haechan. Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan?
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKASIH TUAN MARK (Markhyuck x Chenle)
Romance"Hubungan diantara kita hanya sebatas pekerjaan. Jadi jangan berharap lebih dari itu." ~Markhyuck~