19.

2.2K 209 21
                                    


Haechan duduk meringkuk di sofa yang berada di kamarnya. Dia pulang lebih awal dari jam pulang kantor Mark. Setelah berdebat dengan Mark siang tadi, Haechan meminta izin untuk pulang lebih awal pada Karina. Tujuannya untuk menghindari Mark sementara, dia tidak bisa jika harus bertemu dengan Mark setelah kejadian siang tadi.

Haechan merasa seluruh tubuhnya bergetar. Ingatan-ingatan itu kembali. Beberapa kali dia memukul kepalanya sendiri berharap ingatan-ingatan itu pergi, namun nihil. Airmata mulai mengalir kala memori kelam saat Mark memperkosanya kembali terlintas. Haechan mengusap-usap bahu hingga lengannya dengan kasar. Seolah sedang berusaha menghapus jejak Mark yang melekat ditubuhnya.

Haechan membekap mulutnya. Rasa mual menyerangnya tiba-tiba. Pening, mual, cemas, jantungnya yang berdetak kian cepat membuatnya semakin risau. Entah kenapa dia seolah bisa kembali merasakan euforia ketakutannya dulu. Kekalutan mulai mendominasi pikirannya. Merenggut kewarasannya.


"Hueeekkkk..."


Untung saja Haechan sempat berlari ke kamar mandi. Dia memuntahkan semua isi perutnya ke dalam toilet, padahal nyatanya tak ada yang keluar dari sana selain air. Karena memang Haechan belum memakan apapun sejak pagi.

Chenle berlari panik mengikuti sang papa. Sejak tadi dia melihat tingkah aneh Haechan, hanya saja dia tidak berani mendekat. Bertanyapun Chenle tak berani. Hanya rasa khawatir yang ia pendam hingga tiba-tiba Haechan berlari ribut ke kamar mandi.

Chenle mengelus punggung Haechan. Mengurutnya dari leher ke bawah, berharap usahanya membuat Haechan merasa lebih baik.

"Papa?! Ada apa?! Apa papa sakit?" Tanya Chenle.

Namun anak kecil itu tak mendapat jawaban. Haechan tak membuka sedikitpun bibirnya. Hanya airmata yang mengalir dan menandakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Getaran pada tubuhnya tak kunjung mau berhenti. Ketakutan itu, ketakutan yang sama yang membuat Haechan kehilangan kewarasannya.

Chenle terkejut melihat papanya menangis.

"Kenapa papa menangis?!" Tanyanya semakin khawatir.

Haechan tersedu. Bahunya naik turun karena isakan, namun tak satupun suara yang keluar dari bibirnya. Dia bersikeras mengulum bibir menelan isakannya sendiri. Haechan menggenggam rambutnya untuk melampiaskan rasa resahnya.

Dia tidak dapat memikirkan apapun sekarang. Semua memori mengerikan itu terus berlomba untuk naik ke permukaan. Telinganya seperti tertutup, panggilan keras Chenle nyaris tidak ada satupun yang terdengar oleh Haechan.

Chenle memeluk Haechan. Bocah kecil itu mendekap Haechan erat, tangan khas anak 10 tahun itu bahkan tak cukup untuk melingkari tubuh dewasa sang papa. Mungkin sekarang Haechan mati rasa, sentuhan Chenle tak mampu membawa kewarasannya kembali.

Degup jantungnya bertalu keras melihat keadaan Haechan yang cukup mengerikan untuknya. Otak kecilnya tak mampu memikirkan penyebab dari tangisan Haechan. Dia hanya berharap dengan usaha kecilnya itu bisa meredakan tangis bisu papanya.

"Apa papa menangis karena Chenle berbuat kesalahan?" Chenle bertanya dengan mata berkaca-kaca.

Lagi-lagi nihil tak ada jawaban dari Haechan. Bahkan saat Chenle menggumamkan kata 'papa' berulangkali, tetap tak ada respon dari Haechan. Rasa bersalah menyeruak dalam dada anak kecil, mengingat apakah dia melakukan kesalahan hingga membuat papanya seperti ini. Padahal dia sudah berusaha menjadi anak yang baik, apa dia tidak sengaja melukai hati Haechan?

"Papa maafkan Chenle.. Jangan menangis papa..."

Tubuh Haechan berhenti bergetar, berganti dengan senggalan nafas yang nampak memberat. Haechan memegangi dadanya. Terasa sesak disana. Oksigen sepertinya menolak untuk masuk ke pernafasannya. Otaknya mengirimkan sinyal kekurangan oksigen pada tubuh Haechan. Kepalanya terasa berkunang dengan pandangan yang mulai mengabur.

KEKASIH TUAN MARK (Markhyuck x Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang