Chapter 2: De Javu

659 131 46
                                    

"Hah .... Aku kenapa sebenarnya?"

Waktu menunjukkan pukul 00.00 malam. Setelah keluar dari ruang autopsi, Jaden memilih untuk duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Anak itu terdiam cukup lama dengan tatapan kosongnya, hingga tak lama kemudian, Sebastian datang menyusulnya. Pemuda berusia 22 tahun itu menempatkan diri untuk duduk di sebelah adiknya, dengan secangkir coklat panas di tangannya. Jaden lalu menerima minuman yang dibawakan oleh sang kakak, meskipun ia tidak segera meminumnya dan kembali melamun.

"Kau benar-benar tidak apa-apa?" tanya Sebastian.

Pertanyaan itu justru membuat pikirannya semakin kalut. Jaden sendiri masih merasa syok dengan apa yang dilihatnya. Setelah bertahun-tahun dihantui oleh mimpi yang sama, sulit dipercaya bahwa gadis yang selama ini hanya dilihatnya melalui mimpi ternyata benar-benar muncul di kehidupan nyata.

Kalau begitu, sebenarnya ada hubungan apa di antara mimpinya dengan gadis itu?

"Entahlah, kak. Aku tidak paham," Jaden menghela napas dengan frustasi, "perasaanku campur aduk. Sulit sekali untuk dijelaskan."

Sebastian tidak lagi mendesak Jaden untuk mengungkapkan perasaannya. Dilihat dari kondisi sang adik, sepertinya ia sendiri merasa kebingungan. Pemuda itu mengerti, karena dirinya juga merasakan keanehan yang sama. Muncul perasaan antara terharu, bahagia, dan rasa rindu yang bercampur aduk di dalam benaknya. Hal itulah yang menuntut Sebastian untuk berani mengambil resiko dan menampung jasad itu di rumahnya tanpa melaporkan apapun kepada atasannya. Padahal Sebastian selalu bersikap profesional dalam bekerja.

"Lalu siapa yang kau sebut 'Shin Yuri'? Kau langsung menggumamkan nama itu saat perban mata vampirnya dilepas."

Jaden menggeleng pelan.

"Aku tidak tahu. Tiba-tiba mulutku memanggil nama itu begitu saja."

Sebastian mengangguk paham, seolah ia tidak merasa penasaran terkait hal yang dialami adiknya lagi. Pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya untuk merangkul pundak sang adik, lalu mengelusnya pelan. Menyalurkan ketenangan melalui sentuhannya.

"Reaksimu itu sama persis seperti saat aku pertama kali menemukannya, Jaden. Itulah mengapa aku membawanya kemari."

Mendengar pernyataan sang kakak, Jaden tiba-tiba menegakkan badannya yang awalnya bersandar di sofa. Ia kemudian menatap Sebastian dengan penuh tanya untuk meminta penjelasan yang lebih.

"Kalau begitu, apa kakak mengalami mimpi aneh?" tanyanya, "mimpi tentang kehidupan di zaman kerajaan."

Sebastian mengernyit heran, berusaha mencerna pertanyaan Jaden yang melenceng dari topik mereka.

"Tidak pernah. Memangnya kenapa? Kau mengalaminya?"

Jaden lagi-lagi menghela napasnya. Ia kembali bersandar di sofa dengan lesu. Padahal Jaden akan merasa sedikit lega apabila fenomena aneh itu tidak hanya terjadi pada dirinya. Mereka mungkin bisa bertukar cerita dan memecahkan masalah ini bersama-sama.

"Lupakan. Aku jadi meracau tidak jelas hari ini."

Di sela perbincangan kakak-beradik itu, tiba-tiba pintu ruang autopsi kembali terbuka. Menampakkan sosok Mingi yang keluar sembari melepas handscoon yang melapisi kedua tangannya.

"Sepertinya aku akan menginap di sini," ujarnya, "besok di pagi buta, kita harus segera menyerahkan vampir ini ke kantor polisi untuk diselidiki lebih lanjut."

Perkataan Mingi membuat Sebastian dan Jaden terkesiap. Mereka dengan serempak bangkit dari sofa seraya menatapnya dengan terkejut. Membuat Mingi bertanya-tanya dengan reaksi mereka.

"Kenapa terburu-buru sekali?" tanya Jaden.

"Ya menurutmu? Bagaimanapun juga kami harus bersikap terbuka kepada pihak kepolisian dalam menangani kasus," tukas Mingi, "menyimpan jasad tanpa sepengetahuan pihak berwajib merupakan pelanggaran kode etik seorang detektif."

Dear My Little MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang