Chapter 28: Frustated (2)

237 48 18
                                    

Suasana di distrik Windle mulai terasa sunyi pada pukul 21.15 malam.

Berbeda dengan distrik Bloom yang menjadi semakin ramai di malam hari, jarang sekali terlihat orang yang masih melakukan aktivitas di distrik ini. Mayoritas penduduk Windle adalah para pekerja yang aktif dari pagi hingga hari menjelang malam, sehingga mereka memilih untuk beristirahat dan menyudahi kegiatan pada pukul 21.00 ke atas. Bahkan beberapa toko, restoran, ataupun penjual barang dan jasa lainnya sudah mulai tutup saat ini, kecuali rumah sakit dan supermarket yang memang buka selama 24 jam. Hanya tersisa segelintir orang yang berlalu-lalang, menimbulkan suasana yang begitu hening sampai suara langkah kaki Jaden terdengar cukup nyaring di sekitar sana.

Sedangkan Yuri yang sedang digendong di atas bahunya tidak lagi memberontak seperti sebelumnya. Tampaknya gadis itu mulai pasrah, sehingga ia memilih untuk diam saja selama dibawa oleh Jaden menuju ke tempat parkir. Entah kemana perginya kedua temannya tadi, pemuda itu meninggalkan mereka begitu saja tanpa pamit.

Baguslah. Lagipula akan sangat memalukan kalau mereka berdua tetap mengikuti Jaden dalam keadaan seperti ini.

Setelah tiba di tempat parkir umum yang ada di dekat stasiun, Jaden pun menempatkan tubuh gadis itu untuk duduk di atas motornya, lalu ia menyandarkan kedua tangannya juga di sadel motor. Membuat tubuh Yuri menjadi terkurung di antara kedua lengan milik Jaden. Di saat Jaden menatap lurus ke arah matanya, kepala gadis itu justri tertunduk. Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang, Jaden tidak akan mengurungkan niatnya untuk bersikap tegas pada Yuri. Selain didasari oleh amarah karena sudah dibohongi, bagaimanapun juga Yuri telah melanggar batas waktu untuk pulang di malam hari.

"Bukankah sudah kubilang jangan pulang-"

Belum sempat Jaden menuntaskan kalimatnya, Yuri sudah terlebih dahulu mengulurkan tangannya untuk mencubit kedua pipi Jaden dengan keras. Empunya sampai meringis kesakitan, namun Yuri justru semakin menarik kedua pipinya.

"Kau .... Anak nakal ...." Yuri menatap Jaden dengan kesal. "Bisa-bisanya dengan kesadaran penuh, kau menggendong dan membawaku pergi begitu saja di saat teman-temanmu masih ada di sana. Kau tidak tahu betapa malunya aku?"

Tidak Jaden sangka, ternyata Yuri akan meluapkan emosinya setelah dibawa pergi seperti ini. Padahal ia sempat mengira, setelah ketahuan pulang terlambat, setidaknya terbesit rasa bersalah di benak Yuri dan ia akan merasa tidak enak hati kepadanya. Awalnya Jaden ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk melampiaskan rasa cemburu dan kesal yang sebelumnya ia tahan.

Tapi, justru Jadenlah yang sedang diomeli oleh Yuri sekarang.

"Menurutmu itu sopan? Kau kira aku adalah adikmu yang bisa diangkat begitu saja dan dibawa pulang secara paksa?" sambungnya, "jangan hanya karena badanku lebih kecil darimu, kau jadi bisa berbuat seenaknya padaku, Jaden."

Yuri terus mengomelinya tiada henti, tanpa sekalipun berniat untuk melepaskan kedua pipi Jaden. Bukannya merasa bersalah setelah membuat gadis itu murka, Jaden justru menatap dengan sayu Yuri yang masih saja berbicara. Setiap omelannya sama sekali tidak membuat Jaden merasa takut ataupun jera, namun rasanya mengesalkan karena Yuri telah membalikkan keadaan sekarang. Seolah membohongi pemuda itu bukanlah perkara besar yang dapat menimbulkan rasa bersalah di benak Yuri.

Apakah Jaden tidak begitu berarti di matanya jika dibandingnya dengan pria itu?

Rasanya Jaden benar-benar frustasi sekarang. Ia hidup bersama Yuri dan selalu berada di sisinya, namun masih saja tercipta sebuah dinding yang membatasinya untuk meraih gadis itu. Jaden bisa menyentuh raganya, tapi mengapa tidak dengan hatinya? Apakah karena ia masih belum cukup dewasa? Lantas dirinya harus tumbuh sampai sebesar apa lagi sampai Yuri bersedia mengakuinya?

Dear My Little MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang