"Jaden, bagaimana film ini menurutmu?"
Di hari Minggu pagi, hujan turun dengan deras. Noah yang awalnya ingin mengajak keluarga kecilnya pergi ke pantai, mau tak mau harus membatalkan rencananya. Kini, ia dan putra bungsunya tengah menonton film bersama di ruang keluarga. Sedangkan Sebastian sedang membantu sang ibu untuk menyiapkan makan malam. Alih-alih menyetel film animasi yang menarik untuk anak seusia Jaden, Noah justru memilih film bergenre slice of life. Film itu menceritakan tentang kisah perjuangan seorang dokter bedah dan biasanya genre film semacam ini memiliki alur yang cukup berat untuk anak berusia 5 tahun. Sesuai ekspektasinya, Jaden hanya menatap dengan datar layar televisi tanpa menunjukkan rasa antusias sama sekali. Namun, Noah tetap kukuh mengajaknya menonton film ini untuk satu tujuan.
Yaitu memunculkan adanya empati pada diri Jaden di usia dini.
"Bagaimana pendapatmu tentang aksi heroik si dokter?" tanya Noah, "bukankah dia keren?"
Jaden mengernyitkan dahinya, seolah ia tidak setuju dengan pendapat sang ayah.
"Aku tidak mengerti. Kenapa pak dokter nekat menolong orang bunuh diri sampai dia sendiri yang mati?" tanya Jaden, "padahal tidak ada yang meminta. Kalau dokter bedah saja menyia-nyiakan nyawa, lalu siapa yang akan menyembuhkan pasien nantinya?"
Perlahan, sebuah senyuman terukir di bibir Noah. Senang rasanya melihat Jaden yang ternyata memahami alur film dengan baik, meskipun aksi tokoh utama sama sekali tidak membuatnya tersentuh. Sebenarnya wajar saja jika beberapa orang menganggap tindakan tokoh utama merupakan suatu kebodohan. Pola pikir setiap orang berbeda, dan tidak semua orang memiliki empati setinggi itu. Aksi sang tokoh utama memang bukanlah hal yang perlu diperdebatkan hanya karena perbedaan persepsi. Tapi masalahnya, Noah harus membangkitkan empati di dalam diri Jaden melalui upaya semacam ini.
Baiklah, tidak masalah. Noah akan senantiasa bersabar untuk membimbing Jaden. Tidak peduli dengan diagnosa psikiater sebelumnya tentang kondisi anak bungsunya ini. Bagaimanapun juga, Jaden hanyalah anak kecil tidak berdosa yang belum mengerti apa-apa.
"Apa pemikiranku salah lagi, ayah?" Jaden kembali bertanya saat melihat reaksi sang ayah. "Apa orang lain akan melakukan hal yang sama dengan pak dokter?"
Noah terkekeh pelan melihat kepekaan sang anak, lalu mengulurkan tangan untuk mengelus surai kehitaman miliknya.
"Kalau menurut Jaden, kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan pak dokter di dalam situasi semacam itu?" tanyanya dengan lembut, "tidak ada satu pun masyarakat yang tergerak hatinya untuk menolong orang itu. Bahkan damkar pun tidak ada. Telat sedikit saja, orang itu akan terjun bebas dari gedung."
"Tentu saja mengabaikannya. Dia sendiri ingin mati, untuk apa kita menolong seseorang yang sudah menyerah pada hidupnya?" jawab Jaden dengan tegas, "daripada harus tergelincir dan jatuh saat menolongnya, lebih baik pak dokter bertahan hidup demi melanjutkan tugasnya."
Sesuai dugaan, Jaden pasti akan berpendapat demikian. Noah hanya bisa menghela napas melihat usahanya yang sama sekali belum membuahkan hasil demi membantu Jaden menjadi seorang 'manusia'.
"Jaden, emosi manusia terlalu kompleks, ya?" tanya Noah, "mungkin kau bisa berpikir sesederhana itu, tapi nyatanya hal itu sangat sulit untuk dilakukan. Manusia memiliki empati, sehingga ia tidak bisa begitu saja mengabaikan sekitarnya demi kepentingan diri sendiri. Kalaupun tidak mau turun tangan untuk menolong sesama, setidaknya pasti akan timbul rasa iba ketika melihat orang celaka di depan mata."
Jaden masih saja menunjukkan kernyitan di dahinya. Tapi Noah tetap tidak putus asa.
"Tidak apa-apa kalau kau tidak paham. Ayah percaya, suatu saat kau pasti bisa hidup dengan baik sebagai seorang manusia." Noah berucap dengan optimis. "Sampai saat itu tiba, ingatlah pesan ayah. Terlepas apakah kau dapat berempati atau tidak, yang harus kau lakukan adalah terus berbuat baik. Bertanggung jawablah jika melakukan kesalahan. Jangan lupa untuk mengucapkan "maaf" dan "terima kasih". Lalu senantiasa ulurkan tanganmu untuk menolong sesama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Little Monster
Vampir[SEQUEL OF INTO THE BEAST LAND] Setelah pembantaian kaum vampir membawakan perdamaian, kehidupan pun berjalan dengan damai tanpa adanya peperangan lagi. Tak terasa, manusia sudah memasuki kehidupan modern pada abad ke-20. Jaden Johanson, mendapati...