Chapter 6: Another Side (2)

532 94 17
                                    

"Sial. Sudah hari Senin saja."

Di pagi hari yang sangat sibuk ini, penghuni kediaman keluarga Johanson memulai hari dengan sarapan bersama di ruang makan. Tentunya ditambah dengan kehadiran Mingi di tengah kakak-beradik itu. Ketika kedua pria dewasa sedang menikmati hidangan sederhana yang hanya berupa bacon dan telur mata sapi, satu-satunya anak lelaki di antara mereka justru menggerutu. Membuat perhatian mereka jadi berpusat kepadanya.

"Kau tidak takut tersedak?" cibir Mingi, "selalu saja menggerutu setiap kali ingin pergi ke sekolah."

"Aku benci sekolah." Jaden tiada hentinya mengeluh dengan mulut yang penuh makanan. "Sekolah bukanlah tempat menuntut ilmu, tapi tempat orang-orang beradu gengsi saja."

Mingi menghela napas dengan jengah. Sudah keberapa kalinya Jaden pindah sekolah? Ia tidak tahu lagi harus mencarikan sekolah seperti apa. Mau kemanapun anak itu pergi, pemikirannya terhadap lingkungan sekolah tetap tidak berubah. Ketika anak-anak seumurannya belajar, bermain dan bereksplorasi, Jaden selalu saja pulang dalam keadaan berantakan dengan luka-luka lebam di badannya. Entah siapa saja anak yang berkelahi dengannya. Kalau sudah berkali-kali pindah namun kondisinya tidak berubah, maka bisa dipastikan bahwa letak permasalahannya terdapat pada Jaden sendiri.

"Kalau begitu, apa sebaiknya kau homeschooling saja?"

Usai mengusulkannya, Mingi bergidik ngeri lantaran mendapatkan tatapan tajam dari Sebastian. Pemuda itu menggelengkan kepalanya pelan, sebagai isyarat bahwa ia tidak setuju dengan saran dari Mingi.

"Tidak, senior. Jaden harus tetap menjadi siswa di sekolah," bantahnya, "selain belajar, dia juga harus tahu bagaimana caranya beradaptasi dan hidup di tengah masyarakat. Homeschooling hanya akan membuatnya manja dan terus menyalahkan keadaan."

Jaden menatap sang kakak dengan malas. Walaupun selalu merawatnya dengan lembut seperti ayahnya sendiri, terkadang Sebastian sangatlah tegas dan tidak mudah dibantah. Ia melakukan apapun demi kebaikan sang adik, namun setiap tindakannya hanya dianggap sebagai sebuah kekangan tersendiri bagi Jaden yang ingin hidup sesuai pilihannya.

"Sudah, jangan memasang wajah kusut terus-menerus," tegur Sebastian pada sang adik, "bagaimana kalau kau naik ke atas saja untuk membangunkan Nona Yuri?"

Seketika, raut wajah Jaden yang semula suntuk langsung berubah menjadi sumringah. Tanpa butuh waktu lama, anak itu bangkit begitu saja dari duduknya. Mengabaikan menu sarapannya yang belum habis untuk menaiki tangga. Bahkan sembari melangkah, mulutnya masih sibuk mengunyah makanan yang sedari tadi ia simpan di dalam pipinya. Membuat Mingi menggelengkan kepala dengan heran.

"Melihatnya dalam keadaan tidak ekspresif memang mengkhawatirkan," gumam Mingi, "tapi kalau melihatnya gembira seperti ini juga menakutkan."

"Kenapa? Bukankah itu melegakan?" Sebastian tersenyum tipis. "Ada perkembangan emosional pada dirinya setelah sekian lama."

"Tapi hanya kepada Nona Yuri kan? Dia tetap saja acuh terhadap siapapun, bahkan kepada anak perempuan seusianya."

Sebastian memilih untuk tidak ambil pusing dengan perkataan Mingi. Baginya, lebih baik ada kemajuan walau hanya sedikit daripada tidak sama sekali. Entah siapapun yang menjadi pemicunya, setidaknya telah memberikan perubahan yang positif pada sang adik.

"Pelan-pelan saja, senior. Bagaimanapun juga, perubahan membutuhkan proses."

.
.
.
.

"Nona Yuri, ini sudah pagi."

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Jaden masuk begitu saja ke dalam kamar Yuri yang tidak pernah dikunci. Ia sudah menduga, kalau gadis itu masih terlelap dan tidak akan meresponnya. Dan benar saja, Yuri masih terbaring di ranjang dengan selimut tebal yang selalu membalut tubuhnya. Tanpa menyerukan nama gadis itu lagi, Jaden tersenyum tipis seraya melangkah mendekat ke arahnya. Ia menaiki ranjang, lalu menimpa tubuh Yuri yang berbaring dengan menghadap ke kiri. Memeluknya dengan erat, sampai gadis itu terusik dari tidurnya.

Dear My Little MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang