"Tiba saatnya untuk menjadi pengasuh tuan muda angkuh itu lagi."
Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kini, Mingi tengah duduk berdua bersama Sebastian di ruang makan milik kediaman Johanson. Pria berusia 25 tahun itu tiada hentinya menghela napas dengan berat seraya mengeluh, bahkan sepuntung rokok yang sedari tadi ia hirup asapnya sama sekali tidak membantu meredakan rasa stressnya. Sebastian yang ada di sampingnya pun merasakan suasana hati yang sama. Stress dan jenuh bercampur menjadi satu, namun ia harus tetap melanjutkan kontrak kerjanya dengan inspektur demi uang 20 juta. Pekerjaan itu tidak lebih berat dari pekerjaan mereka biasanya, namun seorang tuan muda yang harus mereka jaga sangatlah merepotkan bagi Mingi yang tidak terbiasa menjaga anak kecil. Bahkan Sebastian yang terbiasa mengasuh adiknya sekalipun dibuat kewalahan.
Waktu yang diberikan untuk mengawal Ben masih tersisa 4 hari lagi, tapi rasanya berat sekali untuk bertahan.
"Ngomong-ngomong, sarapan sudah tertata rapi di meja makan. Tapi di mana Nona Yuri?" tanya Mingi seraya melirik tiga piring sarapan di atas meja, "repot-repot sekali membuatkan untukku juga. Padahal aku memang sudah biasa datang kemari untuk menjemputmu."
"Entahlah. Mungkin sedang membangunkan Jaden?"
Mingi mengangguk-anggukkan kepala seraya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Semenjak kedatangan Yuri di sini, rumah bernuansa monochrome itu jadi terlihat lebih rapi dan bersih. Biasanya Mingi akan melihat sepatu Jaden yang bergeletakan di depan pintu, kemudian berkas-berkas milik Sebastian yang berserakan di atas meja. Sebastian sendiri hanya membersihkan rumahnya dua kali seminggu, itu pun dengan bantuan asisten rumah tangga yang dia panggil.
Namun berkat bantuan Yuri, segala pekerjaan rumah tangga jadi terurus tanpa harus memanggil asisten rumah tangga. Kehadirannya di tengah keluarga ini benar-benar memiliki pengaruh besar.
"Benar-benar istri idaman," puji Mingi, "aku jadi takut kalau kau tiba-tiba ingin menikahinya dan meninggalkanku hidup sendirian sebagai bujangan."
"Kau ini bicara apa? Jaden saja masih kecil, mana mungkin aku sempat memikirkan pernikahan?"
"Baiklah, awas saja kalau kau menikah duluan," ancam Mingi, "tidak ada junior yang bisa kubawa pergi kesana-kemari sepertimu."
"Bergaulah, kak."
Sebastian lalu melirik arlojinya. Waktu sepuluh menit telah berlalu, namun Yuri dan Jaden masih belum menampakkan batang hidungnya. Apakah Jaden kali ini susah dibangunkan? Kemarin anak itu terjaga sampai larut malam karena keasyikan bermain game.
"Jaden, sudah cukup ...."
Ketika Sebastian hendak bangkit untuk menyusul Jaden, tiba-tiba terdengar suara Yuri yang berseru dari kejauhan. Mereka pun mendongak ke arah lantai dua. Melalui celah teralis, mereka dapat melihat Jaden yang tengah memeluk Yuri dari belakang, dengan gadis itu yang meronta seraya memalingkan wajah saat pipinya dicium berkali-kali oleh anak itu. Mingi melotot melihatnya. Sedangkan Sebastian hanya bisa menghela napas seraya memijat pelipisnya.
"Hei, memangnya tidak apa-apa seperti itu?" tanya Mingi pada Sebastian.
"Yah .... Ceritanya panjang, tapi dia sudah mendapat izin dari Nona Yuri, walaupun sepertinya terpaksa." Sebastian menatap Yuri dengan iba. "Kalau dia saja mengizinkan, memangnya aku bisa apa?"
Mingi menggelengkan kepala dengan heran saat melihat Jaden masih saja berusaha mendaratkan kecupan pada pipi gadis itu, meskipun setiap ciumannya berhasil dihindari. Yuri memang terlihat risih dan terus menghindar, tapi Mingi tahu betul bahwa gadis itu tidak bisa benar-benar menolak Jaden. Entah karena dia memiliki kelemahan terhadap anak kecil atau bagaimana, jelas sekali Yuri selalu memanjakannya. Padahal jika Mingi berada di posisi yang sama, ia tidak akan segan mendaratkan jitakan ke kepala anak itu. Jaden bukanlah anak penurut yang menggemaskan, dia mencerminkan definisi anak kurang ajar yang tertutupi oleh sikap pendiamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Little Monster
Vampire[SEQUEL OF INTO THE BEAST LAND] Setelah pembantaian kaum vampir membawakan perdamaian, kehidupan pun berjalan dengan damai tanpa adanya peperangan lagi. Tak terasa, manusia sudah memasuki kehidupan modern pada abad ke-20. Jaden Johanson, mendapati...