Chapter 13: Morality

390 72 19
                                    

"Apa yang kau lakukan pada Chloe?! Dasar jahat!"

Saat pertama kali membuka mata, Jaden mendapati dirinya sedang berdiri di dalam taman bermain. Tepat di hadapannya, ada seorang anak perempuan yang meninggikan nada bicaranya seraya mendorong-dorong dadanya dengan kesal. Kedua matanya tampak berkaca-kaca, entah anak itu menangis karena apa. Daripada menanggapinya, Jaden justru mengedarkan pandangan ke sekitar mereka lantaran sudah bisa menebak kalau ini hanyalah mimpi.

Tapi, kali ini mimpi apa lagi?

"Kenapa kau berlagak seperti tidak salah apa-apa? Kau sudah membunuh seekor anjing yang tidak berdosa!"

Ah, ternyata mimpi tentang perbuatannya di masa lalu.

Benar juga, anak yang ada di hadapannya ini adalah Anna, teman sekelas sekaligus sahabat di masa kecilnya. Saat masih berusia 4 tahun, mereka berdua diperkenalkan oleh Sebastian dan ibu Anna yang sempat mengobrol sebagai tetangga baru. Anna yang merupakan siswa pindahan pun menjadi teman pertama Jaden, hingga tanpa sadar pertemanan mereka berlangsung sampai usia keduanya menginjak 5 tahun. Semuanya berjalan dengan baik tanpa adanya pertengkaran. Sampai  di suatu hari, Anna dikejar oleh seekor anjing dan kakinya sempat digigit oleh binatang itu.

Pada saat itulah, insting membunuh Jaden bangkit untuk pertama kalinya karena didasari oleh rasa ingin melindungi.

"Kau harus meminta maaf pada bibi karena sudah membunuh anjingnya."

Jaden berdecak kesal seraya menutup kedua telinganya. Padahal kejadian ini sudah lama berlalu, tapi mengapa ia masih menerima umpatan dan amarah seseorang bahkan di dalam mimpinya sekalipun? Anna sampai menyebarkan luaskan perbuatannya ini pada teman sekelas. Seluruh siswa pun membencinya hanya karena kematian seekor anjing. Jaden sama sekali tidak mengerti mengapa semua orang menyudutkan perbuatannya. Ia hanya ingin membalaskan rasa sakit yang dialami Anna. Tapi, keadaan membuatnya harus menerima prinsip moral yang dijunjung tinggi semua orang demi menyesuaikan diri dengan mereka, meskipun sampai sekarang ia bertanya-tanya di mana letak kesalahan dalam pola pikirnya.

"Perbuatanku sehina itu kah?" gumam Jaden, "sampai aku pantas mendapatkan kebencian ini?"

"Kau terpengaruh dengan cacian itu?"

Di saat Jaden merenungkan perbuatannya, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang membuyarkan lamunannya. Ia pun menolehkan kepalanya kesana-kemari demi mencari di mana sumber suara berada. Ketika tatapannya tertuju ke arah belakang, Jaden seolah sedang melihat dimensi yang  berbeda dari tempatnya berpijak sekarang. Tampak dari kejauhan, ada tempat dengan atmosfer yang begitu suram, dengan seorang pemuda yang tengah berdiri di sana seraya menunjukkan senyuman miringnya. Tepat di atas pohon besar yang terletak di samping pemuda itu, seekor rusa diikat di dahan pohon dalam keadaan bersimbah darah.  Jaden mengernyit heran saat menyadari kalau wajah pemuda itu tampak sangat mirip dengannya, sampai rasanya seperti sedang bercermin. Hanya saja, pemuda itu memiliki perawakan yang lebih dewasa seperti remaja berusia 16 tahun atau bahkan lebih. Selain itu, yang sedari tadi mencuri perhatian Jaden adalah kedua matanya yang berwarna merah seperti milik Yuri.

Seorang vampir kah?

"Siapa kau?" tanya Jaden.

Pemuda itu hanya merespon dengan seringaian, kemudian ia meraih batu besar yang tergeletak di tanah untuk dilemparkan ke arah si rusa malang. Bunyi tempurung kepala yang retak terdengar begitu nyaring, seiring dengan darah yang mengalir dari kepala binatang itu. 

"Hanya karena semua orang menentangmu, kau jadi memaksakan diri untuk memahami pola pikir mereka?" tanya pemuda itu, "orang-orang itu hanya menilaimu dari tindakan yang menurut mereka salah. Tapi dibalik kekejaman itu, kau berniat untuk melindungi seseorang kan?"

Dear My Little MonsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang