Suara perempuan yang lirih dan lembut, merasuk ke indra pendengaran Julius kala itu. Tangannya yang gemetar takut digenggam oleh tangan rapuh yang pucat itu."Julius," panggil perempuan itu sekali lagi pada anaknya.
Melissa, permaisuri yang sakit keras saat ini. Berita tentang anak haram kaisar pasti merapuhkan hatinya.
Julius menatap sang ibu dengan sedih. "Saya di sini," jawab Julius.
Tangan Melissa membelai rambut putranya. "Nak, bisa ibu meminta bantuan mu?"
"Katakan saja, Bu."
Melissa tersenyum. "Jagalah anak itu, hm. Ibu meminta bantuan mu, jaga anak itu. Sebab, segala kesalahan dan rasa bersalah Ibu ada padanya. Jagalah dia agar Ibu bisa tenang."
"Apa yang Ibu katakan?" Julius meneteskan air mata. Dia menatap netra merah muda sang ibu yang memudar.
"Hanya kau yang bisa ibu harapkan," ucapnya lagi sebelum mata dan mulut tertutup rapat.
***
Di pemakaman yang ramai. Anak kecil dengan pakaian berkabung masuk bersama Galahan. Anak itu tertunduk dengan Lily putih. Seluruh wajahnya tak begitu tampak dibalik kain hitam yang menutup wajahnya.
Rambut pirang pucat yang bergelombang mirip seperti ibu mereka. Anak itu hanya sekilas terlihat, tetapi berhasil menoreh luka dalam di hati Julius dan saudara-saudaranya.
***
Malam itu, suasana begitu kacau, angin bertiup kencang dan hujan turun begitu deras. Petir menyambar ke mana-mana.
Julius yang tengah membaca buku sebelum tidur melihat asap putih. Sekejap asap itu berubah membentuk sosok ibunya. Kala itu Julius sadar sosok asap putih kali ini adalah ibunya.
Asap itu terus bergerak ke kanan dan kiri, dia sangat panik. Menyenggol tubuh Julius seolah dia ingin mengatakan sesuatu.
Asap itu pergi keluar saat Julius merespon.
"Ibu ingin saya mengikuti, Ibu?" tanya Julius.
Asap itu melompat ke kanan dan kiri, lalu ke atas dan bawah. Tanda setuju. Dia langsung memimpin jalan Julius. Selama berjalan Julius baru sadar dia akan dibawa ke mana saat hampir tiba.
"Menemui anak itu?" tanya Julius.
Mengetahui langkah Julius terhenti, asap itu mendorong tubuh Julius agar kembali melanjutkan langkah.
Begitu sudah dekat, siapa sangka jika yang ia lihat adalah sosok gadis kecil yang kurus dengan luka di hampir di seluruh tubuh. Wajahnya bahkan membengkak karena lebam. Gadis itu menangis. Netra merah muda yang mirip seperti ibu mereka. Wajah itu juga, sejenak hati Julius terhenyak.
Dia yang tengah berpikir dibuat panik karena anak yang semula hanya melihat ke luar jendela hendak melompat dari lokasi setinggi puncak menara itu.
Julius berlari dan menangkap gadis kecil itu. Julius menghela napas lega.
"Jadi, apa yang membuat Ibu menuntunku ke anak sampah ini?"
Hujan lebat turun sejak tadi. Petir bergemuruh. Gadis itu dengan sisa kesadaran mengangkat tangannya yang penuh darah.
"Ah, dewa penyelamat." Dia memeluk Julius sesaat. Menyisakan noda merah pada kemeja putih yang dikenakan penyelamatnya.
"Cih, merepotkan."
Tangan gadis itu melemah. Dia pingsan. Pelukan itu, terlepas. Tetapi, wajahnya tersenyum karena lega. Menatap wajah yang begitu lembut membuat Julius kembali ingat sebuah kalimat yang entah di dengar dari mana jika.
"Seorang anak tidak bisa memilih lahir di keluarga yang seperti apa dari ibu dan ayah yang seperti apa."
Dia hanya anak tak berdosa yang ingin bahagia, tetapi dibenci karena merenggut bahagia orang lain.
***
Julius menatap sosok Theana yang tertidur pulas. Ingatan itu merasuk begitu saja saat melihat sosok Theana yang tertidur.
"Kau tahu Theana, ketika melihatmu aku menyadari jika apa yang aku rasakan bukan kebencian terhadapmu. Itu hanya amarah karena keadaan membawaku pada luka itu. Menuduhmu tanpa dasar, padahal ibu sudah sakit sejak lama. Itu bukan salahmu, jika memang bisa ibu juga berkata padaku ingin bertemu dan merawatmu bersama kami."
Pemuda itu tersenyum tipis dan membelai surai pirang Theana. Lantas meninggalkan sebuah hadiah untuk gadis itu di samping bantalnya. Beranjak dari kamar itu dengan hati-hati.
***
Theana membuka matanya usai suara pintu tertutup. Dia melongok ke arah pintu yang sudah rapat. Kemudian, melihat hadiah apa yang diberikan Julius.
Sebuah kotak merah muda. Kalimat Julius terngiang di kepala Theana. Dia tersenyum tipis.
"Orang itu Julius, 'kan, Bu?" tanya Theana sembari membuka kotak yang berisi gelang berwarna putih dengan bandul bunga mawar merah muda yang terlihat sederhana.
Ini hadiah pertama Theana dalam hidupnya. Sungguh, mendadak perutnya terasa tergelitik. Dia tak habis-habis menutup senyumannya.
Theana langsung memakai gelang itu. Kemudian, suara ketukan terdengar.
"Erika?"
"Iya, putri. Ini saya."
Pintu terbuka. Menampilkan Erika yang terlihat sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Anda sudah bangun? Mau segera mandi untuk sarapan?"
"Iya," jawab Theana.
***
Gadis dengan gaun kuning dan rambut yang diikat pita dengan hiasan pita satin itu berjalan dengan wajah gembira itu. Sudah lama dia tinggal di sini, lama juga tragedi Galahan itu terjadi. Setelah sekian lama, Julius adalah orang yang mendekatinya usai kejadian pesta teh beberapa waktu lalu.
Lama waktu Theana berkutat dengan hatinya. Dia takut, tetapi dia ingin. Dia ingin dicintai, tetapi takut semua itu palsu. Akhirnya Theana menerima fakta dengan membatasi perasaannya agar tidak terlalu sakit nanti.
Meskipun dia menerima kasih sayang Julius. Tetapi, ada ruang untuk Theana berpikir dan sendirian. Ruang yang terisi cinta untuk diri sendiri. Ruang lain Theana biarkan untuk menerima kasih sayang mereka jika ada.
TBC
Vote komennya jangan lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE AS THE EMPEROR'S DAUGHTER [SELESAI]
FantasyAnak dua belas tahun itu menatap pria dengan pakaian bagus yang terus menatapnya. Semua anak di panti asuhan menatap kagum. Bahkan mengerumuni orang itu seperti semut gila. Sedangkan gadis berambut pirang pucat bernetra merah muda di sudut ruangan h...