Chapter V: Cahaya Berapi

720 93 12
                                    

Singkat cerita, setelah berdebat cukup lama dengan para pangeran, ksatria Hang Kasa pun akhirnya menyetujui permintaan ketiga pangeran tersebut dan juga tak lupa mengajukan syarat, tentu saja agar dirinya tidak ikut kena amukan baginda kaisar.

Syaratnya cukup mudah. Amati, ikuti, lakukan, dan pulang—

dengan selamat dan tanpa ketahuan, semoga.

Sebenarnya, Gempa mengajukan masa pelatihan selama mungkin sampai dirinya berhasil menguasai, tapi tentu saja ksatria Hang Kasa menolaknya dengan tegas, perang bisa muncul entah kapan, banyak penceroboh yang berusaha masuk ke dalam kerajaan, karena itulah ini merupakan kawasan yang sangat berbahaya bagi para pangeran.

Lelaki paruh baya itu juga menegaskan bahwa latihan ini hanya akan dilakukan satu hari, dan Gempa harus berhasil menguasainya. Karena Hang Kasa memiliki sihir yang membuat ilusi bahwa para pangeran masih berada dalam istana dan melakukan aktivitas mereka, akan tetapi sihir ini memiliki batas waktu satu hari saja, jika mereka tidak sesegera mungkin ke istana, kemungkinan besar mereka akan ketahuan karena pergi meninggalkan istana tanpa izin.

Dengan penuh pertimbangan, Gempa menyetujui syarat itu.

Maka dari itu, dimulailah pelatihan pengendalian mana sihirnya bersama ksatria Hang Kasa.

Para kakak hanya melihat dari samping, dan berusaha menyemangati Gempa. Sebelumnya juga Hang Kasa sudah memberitahu kepada para anak buahnya untuk tidak menceroboh masuk sembarangan ke dalam tendanya. Antisipasi agar tidak ketahuan.

"Kau tentu sudah mempelajari tentang mengalirkan mana sihir bukan? Nah, sekarang aku ingin kau untuk mengubah tanah ini menjadi sebuah lubang. Caranya cukup mudah, kau demonstrasikan di dalam pikiranmu, kemudian alirkan mana sihirmu." Hang Kasa memberi petunjuk kepada sang pangeran kecil.

Sudah beberapa kali Gempa mencoba, tapi tak kunjung berhasil—sama seperti latihannya waktu di istana—

"Hm, sepertinya kau harus merasakan up tier dulu, pangeran." Ksatria Hang Kasa berucap ketika melihat sang pangeran yang hampir putus asa.

Mendengar itu, Gempa hanya memiringkan kepalanya bingung.

"Sadar, tidak? Pangeran Halilintar dan pangeran Taufan bisa menstabilkan mana sihir mereka karena telah melewati fase up tier pada spirit mereka, dan semua fase up tier di awali dengan melibatkan perasaan." Hang Kasa melanjutkan ucapannya lagi.

Halilintar tersentak, "Benar! Waktu itu aku menurunkan hujan halilintar karena merasa sangat marah, lalu Taufan pun membuat badai angin kencang karena merasa sangat bahagia."

Taufan mengangguk paham, "Oh, pantas saja aku merasa semakin ahli mengendalikan mana sihirku,"

"Tapi, kenapa waktu itu Gempa berhasil memunculkan naga tanah jika dirinya belum melewati fase up tier??" Pangeran kedua itu kembali melanjutkan ucapannya.

Ketiganya sontak menoleh pada ksatria Hang Kasa untuk memperoleh jawaban. Namun, yang ada di raut wajah Hang Kasa pun sama bingungnya seperti mereka.

"Itu masih menjadi sebuah misteri, sekarang lebih baik kau fokus terlebih dahulu bagaimana cara melewati fase up tier itu, pangeran."

Taufan berpikir sejenak kemudian mengutarakan pendapatnya, "Ah, aku tahu! Mungkin kau harus merasakan rasa sakit!"

Halilintar yang duduk di sebelahnya hanya menatap datar Taufan. "Idemu tidak logis, rasa sakit itu bukan bagian dari perasaan."

Gempa menghela nafas panjang.

"Mungkin, kau harus merasakan rasa.... cemburu?" Halilintar berkata asal.

Camaraderie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang