Ketiganya berdiri di aula kaisar, sementara sang kaisar duduk tegap di singgasananya, menanti penjelasan yang akan diberikan ketiga putra tertuanya. Mereka semua tertunduk karena tak berani menatap gurat tegas ayahanda mereka.
"Ayahanda, mereka tidak sengaja bertengkar. Hukum saja saya karena tidak bisa menengahi kedua kakak saya." Gempa berusaha mengalihkan kesalahan kedua saudaranya.
Halilintar dan Taufan yang sedari tadi menunduk langsung menoleh ke arah adik kembar mereka dan sontak langsung menggeleng kompak.
"Tidak, ayahanda. Ini salah saya, saya tak bisa mengendalikan emosi sehingga arena latihan hampir hancur." Halilintar menyela
"Bukan salah mereka, ayahanda. Akulah yang memprovokasi Halilintar, hukum saja aku."
Ketiganya malah menyalahkan diri sendiri, membuat kaisar pusing dan memijat keningnya.
"Hentikan. Karena kesalahan yang telah kalian perbuat, bereskanlah arena latihan tanpa bantuan dari para prajurit, itu saja hukuman yang akan ayah berikan pada kalian."
"Tapi ayah—"
"Cukup, kalian boleh pergi." Mendengarnya, ketiga putra sulung itu langsung beranjak meninggalkan tempat.
"Terkecuali kau, Halilintar."
Halilintar tersentak.
Sebenarnya, Taufan dan Gempa tak ingin pergi meninggalkan Halilintar begitu saja, tapi apa daya aura sang ayah sangat mengintimidasi sehingga keduanya terpaksa untuk pergi.
Kini di aula besar itu hanya terdapat sang kaisar dan putra tertuanya, Halilintar.
Halilintar tertunduk, menanti apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya.
Pembicaraan dimulai dengan helaan nafas kasar dari sang ayah, "sudah berapa kali aku katakan untuk mengendalikan emosimu, Halilintar Voltra Athlanticze?"
Habislah, sang ayah sudah memanggilnya dengan lengkap.
Halilintar hanya bisa terdiam.
"Kau adalah calon putra mahkota! Sepatutnya kau menjadi contoh bagi adik-adikmu, bukannya malah bertengkar dengan mereka! Kau tak akan bisa mengendalikan kerajaan ini jika kau sendiri tak bisa mengendalikan hal terkecil dalam dirimu sekalipun."
Tangan Halilintar mengepal kuat.
"Lihatlah usiamu, sudah cukup dewasa bukan? Kau sebentar lagi akan dilantik menjadi putra mahkota, penerus kerajaan Athallaz. Kau seharusnya menjadi pangeran yang sempurna untuk kerajaan ini."
Hampir enam puluh menit sang kaisar menceramahi putra sulungnya itu, kurang lebih pembahasannya adalah tentang putra mahkota dan pewaris tahta.
Jujur saja, Halilintar muak.
Ia keluar dari ruangan megah itu dan berjalan menuju kamar pribadinya. Namun, saat membuka pintu kamarnya, ternyata disana terdapat kedua adik kembarnya yang sepertinya terlihat cemas.
"Halin! Apa kau baik-baik saja? Apa yang ayahanda katakan kepadamu?" Taufan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
"Apa kau dihukum?"
Halilintar diam sejenak kemudian menggeleng, "tidak, tenang saja. Beliau hanya menasehatiku, sekarang lebih baik kita membereskan kekacauan yang sudah kita perbuat, bukankah begitu?"
Halilintar berbohong.
Gempa tahu itu, karena ia sudah membaca keseluruhan jalan cerita ini. Walaupun ia sudah berusaha untuk mengubah jalan cerita, tetapi tetap saja akan terjadi juga.
"Benar, ayo pergi!" Taufan mendahului mereka untuk membersihkan tempat kejadian. Tentu saja ia terbang.
Baru saja Halilintar ingin berjalan, pundaknya di tepuk oleh Gempa.
"Hali, aku tahu kamu di marahi lagi oleh ayahanda, kan? Tak perlu berbohong begitu, kita ini saudara, permasalahanmu adalah permasalahanku juga, kau tak perlu menanggung beban sendirian, masih ada aku dan Taufan, serta adik-adik kita yang lain."
Sungguh, Halilintar ingin menangis rasanya. Tapi tak mungkin seorang calon putra mahkota menangis bukan? Jadi ia berpikir untuk menahannya dan kemudian tersenyum tipis sebagai respon.
"Aku mengerti, Gem."
"Jadi, apa hukuman yang ayahanda berikan?"
Halilintar tertunduk, "beliau ingin aku menghafal satu buku peraturan dan undang-undang kerajaan dalam waktu satu minggu."
Gempa terkejut, ia bahkan menganga. "Hah? Kau bercanda?"
"Tidak, memang itulah kenyataannya."
"T-tapi Hali, peraturan kerajaan saja sudah banyak, apalagi ditambah dengan undang-undang kerajaan?" Gempa memijat keningnya membuat Halilintar terkekeh.
"Aku yang mendapat hukuman, Gem. Kenapa kau begitu khawatir?"
"Apakah kau serius bertanya seperti itu? Ini bukan hukuman, melainkan penyiksaan!" Gempa mengguncang bahu Halilintar pelan.
"Tenang saja, aku sudah terbiasa. Apa kau tidak ingat waktu itu ayahanda pernah menghukum dengan menyuruhku untuk berdiri dengan tiga buku etika kerajaan di kepala? Bahkan ayahanda juga menyuruhku untuk menghafalkannya... Haha." Halilintar tertawa kecil mengingat kejadian masa lalu.
Faktanya, buku etika adalah buku tebal yang bahkan Gempa sendiri tidak bisa mengangkatnya. Tapi sepertinya Halilintar telah dipaksa untuk memanggul beban berat seperti itu sehingga ia menjadi terbiasa, mungkin?
"Kau tenang saja, kami akan menemanimu untuk belajar dan menghafalkannya!"
Halilintar tersenyum melihat ketulusan adiknya. "Terimakasih, adikku."
Baru saja ingin menjawab, suara protes dari Taufan mengagetkan mereka berdua. "Hey, aku sudah menunggu kalian dari tadi dan kalian masih disini sibuk bercengkrama dan membicarakan yang tidak aku ketahui? Tidak adil!"
Gempa tertawa pelan, "maaf ya, Fan. Ayo, aku beritahu sambil berjalan kesana" ia membujuk Taufan seraya berjalan keluar.
Halilintar menatap punggung yang mulai menjauh, pandangannya redup namun senyum tipis terukir di bibirnya.
"Hali? Ayo!" Taufan memanggilnya.
Halilintar tersadar dari lamunannya dan kemudian berlari kecil untuk menyamakan langkah kaki mereka. "Ah, aku datang."
Ketiganya bersenda gurau, menghiasi lorong yang terlihat sepi itu. Halilintar yang berjalan tegap, Taufan yang melayang di udara, dan Gempa yang berjalan santai.
Saudara yang saling melengkapi.
Bukankah begitu?
'Seharusnya ini menjadi awal perpecahan antara Halilintar dan Taufan, tapi sepertinya, ini berbeda dari yang kulihat di buku.'
Gempa ingat, buku yang ia baca di perpustakaan itu menceritakan pertikaian antar saudara tertua pada awalnya. Tentu saja masalah utama dari terputusnya hubungan dekat antara Halilintar dan Taufan adalah karena Halilintar yang tak terima dengan keputusan hukuman yang diberikan ayahnya. Ia menyalahkan Taufan atas semua yang terjadi kemudian secara perlahan menjauh dari saudara terdekatnya.
'mungkinkah... aku bisa merubah takdir yang ada di buku ini? sesuai dengan keinginanku sendiri?'
Secercah harapan muncul di lubuk hatinya.
Setidaknya, bolehkah dirinya sedikit berharap?
┌──────────────────────────────┐
esok hari akan berhembus angin yang baru.
└──────────────────────────────┘
⌗ ⌂ late update, gomen minna-san.
────────────────────────────────
![](https://img.wattpad.com/cover/363901584-288-k20586.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie
Fantasy. 𓄹۪𝆬🕯️˖ৎָ̲۟୭̲ ۪ apa kau berpikir bahwa masuk ke dunia asing itu dapat benar-benar terjadi? tadinya itu isi pikiran seorang pria muda yang kini terjebak dalam tubuh seorang pangeran yang memiliki enam saudara. -boboiboy elemental royal fantasy fa...