Satu minggu berlalu, hukuman yang diberikan oleh baginda kaisar pun telah diselesaikan oleh Halilintar dengan baik. Semua itu berkat bantuan kedua adiknya dalam menghafal, keduanya menemani Halilintar di perpustakaan siang dan malam.
Kini, mereka bertiga berada di taman atas permintaan Taufan. Pangeran kedua itu sangat menyukai alam, terutama ketika musim gugur, berbeda dengan Halilintar yang menghabiskan waktunya dengan belajar, belajar dan belajar.
Belajar untuk menjadi sempurna, contohnya.
"Lihat, lihat! Aku baru mempelajarinya dari Archduchess Kuputeri kemarin sore." Taufan terlihat bersiap menunjukkan kekuatannya.
Dia menciptakan sebuah cakra udara yang terbuat dari angin di kedua tangannya. "Ini cakra udara!"
Gempa bertepuk tangan, mengapresiasi kekuatan kakak kembarnya. Halilintar pun hanya mengikuti Gempa, tetapi dengan rasa malas.
"Dan yang ini," Taufan memunculkan papan seluncur kemudian menaikinya dan mengudara.
Tangan kanannya terlihat menjangkau ke arah langit, kemudian terciptalah sebuah cakra udara tetapi ukurannya sepuluh kali lebih besar dari miliknya yang tadi. "Cakra udara maksimal!"
Keduanya kagum sekaligus sedikit takut ketika cakra udara itu membuat beberapa dedaunan berterbangan.
"Wow, Fan. Bagaimana kau melakukannya?" Gempa terkesima.
Taufan tersenyum miring, "Heh. Mudah, kau hanya tinggal mengalirkan mana sihirmu kemudian bayangkan apa yang ingin kau bentuk."
"Woah, benarkah?" Gempa menatap kedua tangannya.
"Biar aku contohkan, seperti ini Gem." Halilintar yang sedari tadi diam pun membuka suara, ia berdiri kemudian menyilangkan tangannya.
Dari tangannya, muncullah aliran listrik berwarna merah dan kemudian Halilintar memunculkan pedang berwarna merah kehitaman yang saat itu digunakannya saat bertarung dengan Taufan.
Gempa yang takjub reflek bertepuk tangan.
"Inilah yang disebut dengan mengalirkan mana sihir. Kau bisa membentuk apapun dengan hanya mengandalkan imajinasimu, karena kekuatan spiritmu termasuk ke dalam spirit pencipta." Halilintar kemudian menunjukkan lagi pedangnya yang bisa ia belah dua.
"Spirit pencipta?"
Taufan mengangguk, "Benar. Kau, Ice, dan Thorn memiliki kekuatan spirit pencipta. Sedangkan aku, Blaze, dan Solar memiliki kekuatan spirit bebas."
"Lalu bagaimana dengan Halin?" Gempa menoleh ke arah Halilintar.
"Aku memiliki keduanya."
Gempa terdiam sedangkan Taufan tergelak, "Hei, bukankah itu wajar? Seorang calon putra mahkota sudah tentu harus memiliki kekuatan yang lebih unggul, bukan?"
"Berhenti menggodaku, Fan. Kau mau kuturunkan hujan halilintar lagi seperti waktu itu?"
"Oh, ayolah. Aku hanya bercanda!"
Gempa mengabaikan perdebatan mulut mereka, fokusnya teralih pada kedua tangannya yang mungil. Ya, tentu saja, ia terjebak di tubuh seorang pangeran berumur sepuluh tahun, ingat?
"Apa aku... bisa melakukannya?" Tanpa sadar Gempa berucap hingga terdengar Halilintar dan Taufan.
"Tentu saja! Kau memiliki mana sihir yang tak terbatas." Taufan berseru riang.
"Cobalah, Gem."
Taufan mengangguk antusias, "Cobalah membuat pelindung tanah! Oh, atau golem tanah? Oh! Oh! Atau naga tanah!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Camaraderie
Fantasia. 𓄹۪𝆬🕯️˖ৎָ̲۟୭̲ ۪ apa kau berpikir bahwa masuk ke dunia asing itu dapat benar-benar terjadi? tadinya itu isi pikiran seorang pria muda yang kini terjebak dalam tubuh seorang pangeran yang memiliki enam saudara. -boboiboy elemental royal fantasy fa...