Tidak cukup garis hidup mempermainkan mereka, ingatannya pun juga sebercanda itu memporak-porandakan kepingan memori yang pernah ada. Sampai tak sanggup lagi diingat, pun keberadaannya tak sanggup diendus maupun dirasakan.
Matanya menyorot cukup dalam telapak tangan itu, pernah ia merasa mengenggam sebuah tangan yang amat tepat berada di genggamannya. Namun, sia-sia belaka, meski ribuan kali otaknya berjerih payah menghadirkan ingatan yang mengabur.
Pernah ia merasa ada seseorang yang sangat berharga memenuhi dunianya, tapi terkikis sudah sosoknya. Yang ia rasakan hanya kekosongan tanpa batas. Terkadang nampak bingung sekaligus linglung, merasa asing terhadap dunia yang terbentang luas di depannya.
Entah apa yang baru ia lalui, dan kejadian aneh apa yang mengakibatkan dunianya berputar 180 derajat. Benaknya memiliki batasan untuk menelusuri penyebabnya.
"Mengapa kau terang-terangan menolaknya hingga membuat gadis itu menangis tak karuan?" Tiba-tiba Ayahnya menempatkan diri di sampingnya, tanpa persetujuannya pula.
Diputuskan untuk tak mencoba memutar otak demi menelisik ingatan yang di beberapa bulan terakhir cukup payah, dan lebih memilih menanggapi obrolan yang telah dibuka ayahnya.
Ia mendengus sebal, diingatkan lagi benar-benar mendorong rasa kesal yang serupa ketika matanya dipaparkan oleh tingkah kekanakan gadis itu. Ditambah lagi ia tantrum parah selayaknya bocah balita, memalukan!
Untung saja gadis itu dapat menahan diri untuk tak berguling-guling dilantai, dan lebih memilih menangis sesenggukan, tanpa meninggalkan raungan pedih yang sukses mengundang segala mata untuk memandang. Sehingga, mau tak mau di titik itu mereka melayangkan tuduhan tak berdasar, sebagai laki-laki pecundang yang mahir mematahkan hati perempuan.
Nasib baik, isi dua gelas cold brew yang tersisa tak diguyurkan ke setelan jas kerjanya. Jika memang gadis itu sebegitu tega kepadanya, mungkin para pengunjung yang asik menjadikan mereka tontonan gratis bakal bersorak sukacita.
Lantaran merasa puas, si gadis yang dalam penilaian mereka berada di posisi paling dirugikan tak hanya sanggup menangis pilu meratapi kesedihan, melainkan mampu bersikap tegas demi membalas rasa sakitnya layaknya anti-hero.
Ia pindahkan matanya dari pemandangan belakang rumah, yang di bulan-bulan itu seringnya dipenuhi daun kering kecoklatan yang berguguran. Dan lebih memilih adu pandang dengan ayahnya. "Salah sendiri dia terlalu berharap kepadaku, padahal aku sama sekali tak tertarik kepadanya," jelasnya. "Jika dia peka, harusnya mundur teratur, bukan?"
Ayahnya mendesah berat, nyaris saja ia menyerah akibat banyaknya kendala dalam mendesak putra satu-satunya yang penuh intrik dalam menolak segala upayanya, agar segera menikah.
"Sangat kekanakan, aku tak suka gadis yang lebih muda!" sergahnya lagi. Trauma benar ia menghadapi gadis semacam itu, walau sebenarnya usia bukan sebuah tolak ukur kedewasaan seseorang. "Dia pikir aku ini ayahnya? Harus selalu menuruti apa yang dia inginkan? Apalagi dia sering kesal oleh hal-hal sepele. Dia tak tahu, ya, aku cukup sibuk untuk meladeni segala keinginannya!"
Rutukan bernada emosi demi meluapkan segala yang mengganjal di benak ia lontarkan terus-terusan, supaya ayahnya mengurungkan niat mendesaknya lebih jauh.
Namun, tentu saja Ayahnya tak akan berputus asa. Sebuah alasan masuk asal seperti putranya yang dihimpit oleh usia yang nyaris menyentuh akhir 20an lebih layak menjadi pertimbangan.
Padahal, teman-temannya banyak juga yang belum menikah diusianya yang sekarang, bahkan banyak juga yang memutuskan untuk tak menikah, walau keputusan itu cukup berbahaya bagi keberlangsungan populasi di Jepang yang menurun tajam dari tahun ke tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Light
RomanceDia rela mengorbankan hidupnya, untuk mengubah masa lalu ibunya. Dia rela terhapus memorinya, untuk menyelamatkan adiknya. *** Kecelakaan tragis di hari pernikahan yang menewaskan Ibu dan Calon Pendamping Hidupnya, membuat gadis itu dan adiknya te...