Pikirannya selalu dibenamkan dalam hal yang sama selepas Hiro menuliskan ajakan untuk bertemu di atap, walau jam demi jam bergulir. Bahkan hari telah tergantikan. Atau, ketika goresan kata itu telah memudar dari telapak tangannya, nyatanya sukar memudar dari ingatannya, seolah Hiro juga menuliskan menggunakan tinta permanen di otaknya.
Belum sanggup menetapkan, adalah satu hal yang membebani benak. Takut, jika ia hadir hatinya kembali goyah. Namun, penyesalan yang besar bakal menghadang di depan ketika memutuskan untuk abai terhadap undangan Hiro. Biarpun ia masih tak tahu-menahu alasan di balik Hiro memaksakan kehendaknya, supaya Sachi menghadiri ajakannya.
"Sachi, ada apa?"
Gadis itu mendongak ketika dirasa seseorang menjeda paksa lalu lintas dalam otaknya.
"Ibu." Matanya ambernya mengerjap heran, agak terkejut ketika telinganya tak mampu menangkap bunyi-bunyian lirih disekitarnya, termasuk derap Ibunya yang semakin mendekat.
Sakamoto Seira menjatuhkan pinggulnya di salah satu bangku yang diletakkan di depan ruang ICU. Beruntung sekali akhir-akhir ini mood ibunya sepenuhnya membaik, tak lagi membahas mengenai pembatalan pernikahan dengan Akira. Jadi tak ada lagi kecanggungan yang mengisi hubungan ibu dan anak itu.
"Gadis yang beberapa hari itu, sepertinya Ibu sudah sangat akrab dengannya." Tak ada angin, tak ada hujan, entah mengapa kalimat itu meloloskan diri sebelum otaknya berpikir apa pun.
Nampak benar tercengang menghampiri Sakamoto Seira. "Jadi, kau melamun karena memikirkan itu?"
Berat untuk mengangguk, namun kejujuran hatinya tak mampu untuk menggeleng, karena isi kepalanya hanya mengacu ke pertemuan di atap rumah sakit yang tak sampai satu jam lagi. Semestinya sudah diputuskan, namun entahlah otaknya telalu beku untuk dibuat berpikir.
"Makanya dengan sengaja Ibu mengundang gadis itu ke rumah, supaya Hiro sedikit demi sedikit mau menerima orang baru di hatinya, dan perlahan melupakan Sachi."
Manik ambernya menyorot ibunya tak percaya. "Ibu sengaja mengundangnya?"
"Ya, tanpa sepengetahuan Hiro. Jika dia tahu, mana mau anak itu pulang ke Shinjuku," papar Seira, seraya menatap erat Sachi yang resah. "Sachi, kau tahu, perasaan yang kau miliki dan Hiro itu tak seharusnya ada."
Walau ia sadar sepenuhnya perasaan itu salah, tapi hatinya tetap ingin menyangkal. Mulutnya tak tahan menyuarakan yang mengeras di benak bertahun-tahun lamanya, selagi ia mampu.
"Aku yang menyukainya lebih dulu, di saat Ibu belum memutuskan menikah dengan Ayah."
Mungkin, Ibunya menganggap bahwa perasaan yang mengacu pada Hiro telah dilenyapkan paksa selepas insiden menyakitkan di Kyoto. Saat itu ia tak pernah mengaku kapan bermulanya perasaan itu, yang tergelincir dari mulutnya hanya permintamaafan sebab diam-diam menemui Hiro di Kyoto.
"Untuk yang satu itu, maaf. Saat itu Ibu hanya memikirkan diri sendiri di saat Ibu selalu goyah setelah perceraian dengan Ayah kalian. Dan Ibu sama sekali tak tahu perasaan Sachi."
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Light
RomanceDia rela mengorbankan hidupnya, untuk mengubah masa lalu ibunya. Dia rela terhapus memorinya, untuk menyelamatkan adiknya. *** Kecelakaan tragis di hari pernikahan yang menewaskan Ibu dan Calon Pendamping Hidupnya, membuat gadis itu dan adiknya te...