CHAPTER 1 - HYDRANGEA

213 71 441
                                    

Setelan jas hitam, maupun gaun hitam yang nampak prima itu menyertai penampilan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelan jas hitam, maupun gaun hitam yang nampak prima itu menyertai penampilan mereka. Namun, bukan untuk menghadiri pesta, bukan untuk merayakan sesuatu, melainkan untuk sebuah upacara pemakaman.

Sangat kontras memang, kemarin ia mengenakan gaun putih dipenuhi taburan manik-manik, dan kini telah digantikan oleh gaun hitam yang bahkan satu manik pun tak tersemat.

Alasan masuk akalnya, karena calon pendamping hidupnya telah meninggal sebelum upacara pernikahannya dimulai beberapa menit lagi. Dan segalanya diperburuk dengan Ibunya yang juga turut kehilangan nyawa di jam yang sama dengan calon pendamping hidupnya.

Di tengah-tengah isakan yang belum terputus, tiba-tiba gumaman putus asa itu mengalir dari mulut adiknya, "Bisakah waktu berputar kembali?"

Zoe Sachi, dan Ryuichi Hiro pun menoleh serentak pada Ed Sotha yang tetap menyodorkan pijar nanar pada dua foto yang terpajang di altar, di antara dupa, serta-merta rangkaian artistik krisan, hyacinth, maupun hydrangea. "Jika bisa, aku akan melakukan apa pun supaya Ibu hidup kembali, karena aku belum sanggup kehilangannya."

Sachi berdeham demi mengenyahkan ganjalan di tenggorokannya, "Sotha, mana ada yang seperti itu. Biarpun sangat menyakitkan, tapi kita harus merelakan, bukan? Secara perlahan ...." Getaran pada penggalan kalimatnya pun turut mewarnai.

Tubuhnya dibuat turut bersimpuh seperti Sotha yang tak memiliki kekuatan untuk bangkit.

Sachi pikir benaknya yang paling rapuh di antara Sotha, Hiro, maupun Ryuichi Koji. Karena ia yang kehilangan kedua orang yang paling berarti di hidupnya, di hari pernikahannya pula.

"Jika memang bisa kembali ke waktu yang kita inginkan, aku pun akan mengubahnya semenjak lama," desahnya lirih, namun Hiro mampu memangkap frasa janggal itu, hingga manarik pandangan mereka tuk saling bertemu. Kedua manik yang memerah akibat keletihan maupun bergulirnya air mata itu saling berkirim kata-kata dalam diam.

"Aku bahkan rela menukar nyawaku supaya Ibu tetap hidup." Sotha tak juga puas untuk menumpahkan isi hati bernada pilu.

"Hentikan, Sotha!" Ajaibnya kata-kata yang sama keluar dari mulut Hiro dan Sachi dalam satu waktu. Segalanya telah memburuk, mereka hanya mencegah penggalan kata bernada putus asa untuk tak kembali terlontar supaya tak memperkeruh suasana.

"Aku akan melakukan segalanya, aku tak pernah bercanda dengan ucapanku!"

"Sotha, kau menyinggungku ... seakan keberadaanku tak penting bagimu." Air mata yang sejenak tertahan, kembali berdesakan untuk mengalir, "Masih ada aku, Sotha."

Laki-laki yang serapuh kelihatannya itu menggeleng, "Bukan begitu Onee-chan, hanya saja ...." Sotha tak memiliki segenap kekuatan untuk melanjutkan suaranya.

"Masih ada aku, masih ada Ayah tiri kita, masih ada Ayah kandung kita, masih ada Hiro-kun. Jangan seperti ini, seakan kau hidup sendiri di dunia yang kejam ini," tandas Sachi mengusahakan sebentuk kekuatan untuk benak adiknya yang kian melemah.

One More LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang