CHAPTER 12 - MAKE UP

67 29 111
                                    

Ketika dirasa jarak yang mereka ciptakan tak mungkin terkejar oleh Ayah dan Ibu Sachi, mereka berbelok ke taman bermain yang cukup jauh dari letak rumah gadis itu, walau masih dalam satu kawasan perumahan.

"Wah, mengapa aku jadi ikut menceburkan diri dalam permasalahan keluarga kalian?" desis Hiro bersamaan melambatkan derapnya di antara detakan jantung yang terpacu cukup tinggi, bukan karena ketakutan melainkan karena telah berlarian seperti anak kecil di sepanjang jalan. "Dan bagaimana jika orang tuamu melapor ke polisi, bisa-bisa aku terkena dampaknya."

Zoe Sachi mendelik sebal ke arah Hiro, diiringin napas memburu pula ia menjatuhkan pinggulnya pada kursi panjang di samping vending machine.

"Itukan karena kau setuju begitu saja dengan rencana yang Sotha buat, salahmu sendiri!" tandas Sachi yang pada akhirnya memiliki kesempatan meluapkan kejengkelan yang timbul di benak di sesi sebelumnya.

Wajah yang dikuasai penyesalan itu menatap Sachi, "Bagaimana bisa aku terlibat hukum begini, sedangkan pekerjaanku adalah menegakkan hukum," gerutu Hiro lagi, yang telah berdiri di depan vending machine.

"Makanya pikirkan baik-baik sebelum menuruti kata-kata anak itu. Kau tahu, kita itu adalah korban sebenarnya dari rencana Sotha!" Walaupun laju napasnya yang belum kembali normal memaksanya untuk tenang sejenak sampai kinerja jantungnya kembali ke semestinya, gadis itu enggan peduli, "Dan lagi pula ... baiklah aku harus menyadarkanmu sekali lagi. Ryuichi Hiro, kau bukan pengacara di dunia ini, melainkan hanya anak SMA berusia 17 tahun!"

Laki-laki itu mengerjap sesaat, "Astaga benar juga," desisnya lega.

Melihat fokus laki-laki itu disibukkan dalam memilih minuman di dalam vending machine, gadis itu juga tertarik, "Aku juga haus, aku mau yang rasa peach," sela Sachi diimbuhi senyum lebar, laki-laki itu hanya mendengus melihat wajah tanpa rasa berdosa gadis itu.

Ah, wajah cemberut yang khas itu, batin Sachi tak mampu menahan senyum yang berusaha ia sembunyikan.

Ingatannya pun jadi terseret ke masa ia masih SMA, yang sehari-harinya memperhatikan dalam diam wajah datar tanpa ekspresi, atau super dingin itu, seakan di hidupnya tak ada hal menarik selain belajar.

Jika diingat-ingat pula, ketika beranjak dewasa laki-laki itu telah banyak berubah, hingga Sachi mampu merasakan betapa hangat hati yang dimilikinya, walau terkadang masih tersamarkan oleh sikap dinginnya yang tak separah ketika masa SMA.

"Kau tahu, apa yang kau lakukan sangat nekat. Bagaimana jika kau dihukum?" Tahu-tahu laki-laki itu telah menempatkan diri di sampingnya, dan praktis ucapannya memecah renungan singkatnya.

"Itu sudah jelas," jawab Sachi santai. Lalu terpikirkan sejenak untuk menggoda Hiro, "Kurasa Ayahku juga tak akan membiarkanmu hidup, dia akan mencari sampai dapat."

Melihat mata melebar ngeri Hiro, tawa terpingkal-pingkal pun tak dapat dihindarkan.

Lalu ia menyempatkan untuk menarik napas demi mengusir rasa geli yang masih menjalari, "Kau tahu, lega rasanya ...."

"Lega?"

Gadis itu mengangguk.

Kerutan yang cukup dalam tergelar di dahi Hiro, "Lega karena sudah memberontak dan membuat Ayah beserta Ibumu khawatir?"

Sachi mengangguk, lalu menggeleng. Ragu sejenak, pada akhirnya ia mengangkat bahu, "Entahlah, dulu aku ingin melakukan ini tapi tak mempunyai keberanian. Lebih tepatnya aku dan Sotha."

Ia menjeda sejenak di balik pendengaran Hiro yang terpaut lurus ke ceritanya. "Aku ingin bermain ayunan!" serunya tiba-tiba, seiring bangkit secara bersemangat dan melompat-lompat kecil ke benda yang ia maksud.

One More LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang