Sore itu, Sachi sedang mengemas barang bawaan Kana maupun milik dirinya di kelas yang sunyi. Gedung sekolah pun jauh lebih sepi setelah festival olahraga berakhir, tanpa ia benar-benar menikmati rangkaian acaranya. Tentu saja, karena ia yang lebih sibuk menemani Kana di ruang kesehatan akibat rasa bersalahnya.
Ponselnya berdering bersamaan langkah terakhirnya dalam meninggalkan kelas. Sebuah ponsel lama yang baginya nampak kuno jika melihat pesatnya perkembangan jaman, kini telah berada di genggamannya.
Rupanya panggilan dari Sotha mampu menggelar senyum di wajahnya, tak sabar juga mengabari akan keberhasilannya dalam menyelamatkan diri dari kecelakaan terkutuk itu.
"Moshi-moshi," sambutnya bersemangat. "Sotha, aku berhasil!"
Dari seberang sana justru mengalir desahan berat yang bertentangan dengan reaksi yang Sachi harapkan. "Onee-chan, segalanya gagal!"
"Maksudnya?"
"Sepertinya, arus takdir berubah lagi." Nyatanya kekacauan dari Sotha semudah itu Sachi tangkap, "Ayah dan Ibu masih bertengkar hebat, walau Onee-chan tak mendapatkan kecelakaan."
Derap Sachi pun tertahan, "Apa, bagaimana bisa?"
"Ceritanya panjang, sekarang Ayah telah di bandara, hendak kembali ke Amerika." Kentara sekali suara Sotha dijalari oleh getaran, seakan berusaha menelan kegetiran di tenggorokan.
"Yang benar, mengapa secepat itu. Apa tak ada yang berusaha memperbaiki, saling meminta maaf? Apakah Kakek dan Nenek juga ikut andil?" sergah Sachi seiring menekan kuat gejolak di dada.
"Tidak, mereka tak ikut hadir ke Jepang. Tapi, anehnya pertengkaran hebat itu masih terjadi," dengus Sotha kepalang lelah menghadapi segalanya.
Embusan napas frustasi lepas bersamaa jari-jari yang memijit pelipisnya, "Lalu di mana Ayah sekarang, aku ingin berbicara?"
Nalurinya sebagai anak tertua pun hendak meluruskan. Tak ingin juga ketika meninggalkan masa ini, tak ada takdir baru yang terbentuk.
"Cegah Ayah, tolong tahan dia. Aku ingin bertemu dengannya, dan berbicara dengan Ayah!" pinta Sachi, sialnya detik itu air mata mengancam hendak jatuh.
"Tak bisa, Ayah sangat kalut. Bahkan Ayah tak banyak bicara denganku tadi." Praktis ucapan Sotha memutus harapan yang telah ada.
"Mengapa orang dewasa seegois itu," tandasnya sebal.
Sotha pun yang belum memutuskan sambungan telepon tak sanggup bereaksi apa pun.
"Tanyakan pada Ayah, apa dia merindukanku setelah lama tak berjumpa." Suara Sachi terempas tajam demi menyalurkan keputusaannya.
Rasanya memang tak ada jalan pintas untuk mengelak dari kejamnya garis takdir yang semestinya ada.
Sebelum Sotha menjawab, sambungan telepon ia putuskan paksa. Diayunkan kembali kakinya melintasi koridor, di antara air mata yang menentang kuat keinginannya untuk tetap teguh. Malangnya, bukan hanya setetes maupun dua tetes, melainkan tak terhitung sudah bulir bening itu meloloskan diri dari pertahanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Light
RomanceDia rela mengorbankan hidupnya, untuk mengubah masa lalu ibunya. Dia rela terhapus memorinya, untuk menyelamatkan adiknya. *** Kecelakaan tragis di hari pernikahan yang menewaskan Ibu dan Calon Pendamping Hidupnya, membuat gadis itu dan adiknya te...