Selamat datang pada kisah pembuka dari seorang laki-laki sederhana bernama Yuga Naufal Angkasa. Cerita ini dihadirkan untuk satu sosok hebat yang dengan tulusnya telah memberi warna untuk hidup banyak orang, sosok tegar yang telah sampai atas harapannya...
Selamat membaca!
***
'Manusia bukan bulan yang rela kesepian. Maka, temani yang sedang sendiri dan jadi sama-sama.'
Indah langit yang menjingga menjadi salah satu saksi bahwa sebuah ikrar baru saja didengungkan oleh sebagian remaja yang baru memasuki usia enam belas tahun. Kala itu, bermula pada pertengahan 2018, nama Garda Adhigana, sebuah barisan perintis milik Adhigana kembali diakui, yang kini genap delapan belas tahun berdiri.
"Segenap cita dan harapan bermula pada tingkatan paling kecil. Sebab proses kalah, salah, dan gagal sering kali dimaklumi pada tingkatan satu ini. Itulah kenapa Garda Adhigana ada, dan harus ada," cetus sang ketua umum dari sebuah ekskul besar di SMA Adhigana.
Dasar pengakuan dan satu alasan dibentuknya nama Garda dari ucapan seseorang yang mengaku lebih lama berkecimpung di dalamnya itu tersemat, lalu disepakati oleh semua orang yang kini ada pada barisannya. Mereka menerima dengan lapang.
"Dan selamat memimpin Garda, Yuga Naufal Angkasa!"
Satu tepukan lantang mendarat tepat di bahu kokoh laki-laki tinggi bernama Yuga Naufal Angkasa, seolah tanggung jawab besar sejak saat ini telah dipindahkan kepada laki-laki yang baru menginjak masa SMA itu.
Setelahnya, sebuah pasukan kecil berhasil kembali digerakkan menuju hamparan luas milik Adhigana bersama tokoh-tokoh barunya. Di sana, harapan dibentuk, semangat solidaritas mulai diwujudkan, serta jiwa korsa dan kepatuhan terhadap halentri baru ditegakkan.
"Kita semua ada dan bersedia untuk terus membersamai langkah lo ke depan, Yug," sambut Praja Ammar Adiputra, laki-laki yang lebih dulu menjabat telapak seseorang pemilik cahaya purnama pada sorot matanya.
Kemudian, muncul kata selamat dari barisan lain, yang satu-persatu turut melangkah maju kepada sosok bertubuh tegap proporsional, yang sejak saat ini telah resmi diterima.
Lantas, pahatan bulan sabit yang sempurna kembali terukir dari sang tokoh yang disebut-sebut namanya. Binar matanya yang coklat terang menatap sekumpulan siswa yang tengah berdiri mengelilinginya, membuat hangat sambutan pada binar-binar senang terlihat saling tertaut, mengisyaratkan bahwa tumpuan untuk segala harapan patut segera mengomando semangat perjuangan.
"Selamat bergabung juga untuk para pejuang merah putih. Semoga, sedikit cerita mempersilahkan kita untuk saling membangun harapan, lalu mewujudkannya. Jangan menyerah sampai masanya habis, sampai tugasnya selesai," balas laki-laki pemilik pahatan bulan sabit dalam tawanya itu.
Dan bersamaan dengan rentetan harapan yang terselesaikan, lengan-lengan mulai terbuka lebar, mempersilahkan para tokoh dan peran saling merayakan rumah baru mereka. Rumah tanpa pintu, atap, alas, ataupun jendela. Rumah yang ini berdinding harapan. Harapan yang tidak menghakimi, tidak mengasingkan, juga tidak menjaga jarak.
"Manusia bukan bulan yang rela kesepian. Jadi, kita temani yang sedang sendiri dan jadi sama-sama. Selalu, sampai habis masanya," ulang Ammar yang pada birunya langit, jauh sedang menatap ke atas seraya menyematkan sebuah kalimat yang jadi janjinya, juga janji semua orang pada masa itu, sebagai representasi dari tumbuhnya sebuah jiwa bermakna korsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...