'Indahnya masa saat kita sama-sama jatuh cinta, tetapi dengan siapa?'
.
.
.
---
Siang itu, Zanna terduduk sendirian di halte samping gerbang masuk Adhigana. Wajah kecilnya terlihat harap-harap cemas, menanti kedatangan angkot hijau yang biasa berhenti di sana.
Namun, hampir satu jam berlalu, dan ia mulai suntuk menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan dalam bias terik matahari yang menyipitkan matanya. Lalu samar-samar, tatapan indah seseorang mengacaukan fokus Zanna, hingga satu teriakan terlontar seiring bibir merah jambunya yang ikut mengembang.
"Yuga!"
Laki-laki yang sedang mengobrol dengan satpam itu seketika menyadarkan diri, saat perempuan yang diam-diam ia perhatikan melambaikan tangan ke arahnya.
Dengan langkah kecil dan cepat, perempuan itu menghampiri. Tawanya lucu, juga dua kunciran kecil yang melompat-lompat saat dia sedang berlari.
Bersamaan dengan kedatangannya, aroma strawberry menyapa, aroma yang kini mulai Yuga nikmati.
"Memang kalau rezeki nggak ke mana, ya?" ucap Zanna girang. Cerianya kembali dan itu kesan manisnya.
"Rezeki apa?" tanya Yuga sok polos. Matanya berkeliaran dengan posisi tubuh yang masih menyender pada Vespa miliknya.
"Pulang bareng, yuk! Anterin gue, dari tadi nunggu angkot nggak datang-datang," keluh Zanna, menyampaikan maksudnya sembari menyeka beberapa tetes keringat di dahi.
Yuga tertawa singkat. Gemas rasanya melihat perempuan itu terlihat kesal seperti ini. Wajahnya yang malang ketika menunggu angkutan umum di halte dengan banyak debu dan terik yang meninggi tadi. Ah, semoga perempuan itu tidak tahu jika sejak tadi ia memperhatikannya dari jauh.
"Angkot? Motor lo ke mana?" tanya Yuga basa-basi, seolah tak ingin buru-buru mengiakan keinginan Zanna dengan cepat pergi dari halaman Adhigana.
"Lagi malas bawa." Zanna menjawabnya singkat. Lebih-lebih karena ingin segera diantar pulang.
"Terus, pacar lo ke mana? Kenapa malah gue yang harus antar?" Yuga belum juga mengakhirinya. Ia menyindir kehadiran Ergo yang masih jadi kekasih Zanna. Sekaligus ingin memastikan, bahwa Zanna memang masih milik orang lain.
Namun, justru pertanyaan itu membuat Zanna semakin cemberut. Apalagi melihat wajah tengil Yuga tampak sengaja lama-lama menahannya.
"Lo banyak tanya, Yuga. Jadi, mau nggak?"
"Mau apa?"
Zanna berdecak. Ternyata, Yuga bisa menyebalkan juga, ya?
Melihat pipi perempuan di hadapannya memerah layaknya kepiting rebus, Yuga menyerah. Ia berikan satu helm yang dirinya pinjam dari pos satpam untuk Zanna, seakan memang sudah dirinya siapkan untuk perempuan penyuka warna merah muda itu.
"Iya, iya. Gue antar sampai ke rumah, tuan puteri!"
Senyum Zanna langsung merekah dengan sepasang bulu mata yang hampir menutupi sebagian mata almondnya.
Yuga suka memandanginya begini. Sebab ternyata, ada yang jauh lebih indah dari sudut jalan tabebuya kala sinar mentari tiba.
"Tapi, lo lagi nggak ada latihan, kan?" Zanna memastikan, cemas jika akan mengganggu kesibukan Yuga.
"Ada." Laki-laki itu melirik jam tangan hitam sederhana di pergelangannya. "Masih sejam lebih beberapa menit. Gue antar lo dulu."
Yuga lalu menggandeng tangan Zanna untuk naik ke motornya dengan hati-hati, membantunya supaya nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Fiksi Remaja"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...