'Semoga selalu menang.'
.
.
.
---
"Naik! Turun!" teriak Briga mengomando.
Lima puluh kali push up atau setara dengan sepuluh porsi Yuga jalani setelah evaluasi pengibaran pagi. Sebenarnya, masing-masing dari tiga pengibar mendapatkan lima porsi. Namun, sebab Yuga merangkap jatah porsi milik Ameera, jadilah dirinya mendapat beban dua kali dari yang seharusnya.
"Yuga, maaf. Gara-gara aku, kamu jadi nanggung porsi lebih banyak," ucap Ameera merasa bersalah, setelah Briga meninggalkan aula. Perempuan itu tampak sedikit menunduk, dengan wajah pucat pasi bak bulan kesiangan.
"Santai. Aman, kok, Ra," balas Yuga sama sekali tak keberatan.
"Yuga mah dua puluh porsi juga sanggup, Ra. Kan calon abdi negara, harus kuat," sahut Regu, sebelum akhirnya berlalu dengan Rahsya.
Tersisa Yuga dan Ameera di ruangan itu. Yuga yang sibuk meneliti kesepakatan halentri dan aturan hukuman bagi angkatannya di ponsel, dan Ameera yang sedang berperang dengan pikirannya.
"Yuga," panggil Ameera lirih.
"Iya, Ra?"
Pada jarak yang cukup dekat, Ameera menelisik struktur wajah Yuga yang tegas. Ia amati sosok baik itu seksama, memilin kedua ujung jari untuk sekadar bersiap mengenyampingkn segala gengsi yang ada.
"Ini udah kesekian kalinya kamu tanggung hukuman aku."
Yuga meletakkan ponselnya dan menatap Ameera lekat.
"Aku ngrepotin banget, ya? Besok-besok kalau aku dapat hukuman lagi, jangan lagi, ya?"
"Nggak usah ngerasa nggak enakan gitu. Lo juga bagian dari Garda yang jadi tanggung jawab gue. Kalau rasa-rasanya lo lagi sakit, jangan takut buat ngomong."
Ameera tersipu. Karena Yuga, ia tak perlu lagi banyak memikirkan perihal daya tahan tubuhnya yang lemah. Sebab laki-laki itu selalu jadi garda terdepan untuk membantunya, ada di sisinya setiap ia merasa tak sehat.
"Ra, gue duluan, ya? Lo juga masuk kelas, gih. Nanti latihan, jangan lupa. Gue tahu lo kuat, jadi lo juga harus percaya itu."
Ameera mengangguk, mempersilahkan Yuga meninggalkannya lebih dulu.
Punggung kokoh yang lamat-lamat menjauh itu dirinya pandangi sebelum benar-benar menghilang. Tawanya selalu sehangat mentari pagi baginya. Tidak peduli meski banyak orang menyebut tawa laki-laki itu bak bulan sabit atau semacamnya.
***
Saat Yuga kembali, suasana kelas dihebohkan dengan berita akan diadakannya post test dari Pak Danang, lagi. Bagas lah yang membawa kabar itu, mendengar bisik-bisik dari kelas sebelah bahwa di minggu ini Pak Danang semakin gencar mengadakan post test untuk mengukur sejauh mana tingkat pemahaman siswanya. Jadilah mereka semua berbondong-bondong menyusun strategi untuk menghindari musibah itu. Ralat! Tidak semua murid yang ikut. Tentu murid pintar seperti Yuga dan beberapa murid pendiam lainnya hanya menontoni saja.
"Woy! Lima menit lagi!" teriak Bagas membuat panik seisi kelas.
Jangan mengira mereka sedang mempersiapkan materi dengan belajar. Sebab memang bukan itu yang mereka lakukan.
"Tambah lagi!" suruh yang lainnya, meminta tambahan meja untuk memblokade akses masuk kelas IIS 2.
Yuga hanya geleng-geleng melihat kelakuan teman-temannya. Lalu, pandangannya lajak berpindah pada perempuan yang menyita ruang pikirannya akhir-akhir ini. Zanna. Perempuan ceria itu dengan lincah ikut menggencarkan strategi melawan Pak Danang. Tak terasa, senyum Yuga terukir di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...