'Perihal kesenangan yang jatuh pada hal paling sederhana.'
.
.
.
---
Yuga memarkir Vespa pemberian neneknya yang masih ia rawat dengan sangat baik itu di depan sebuah hunian sederhana. Malam berlabuh membendung segala aktivitas agar segera disudahi. Namun, pening yang Yuga rasakan belum juga surut sejak ia selesai pada latihan yang cukup menguras energinya sore tadi. Lalu, perjalanan panjang yang berlangsung membosankan.
Dengan setengah energi yang tersisa, Yuga memaksa kedua kakinya untuk melangkah masuk ke dalam. Seiring tangannya yang mulai membuka knop pintu secara perlahan, seorang laki-laki jakung berdiri di baliknya dengan tatapan yang tidak bersahabat.
"Lihat, semakin besar dia semakin liar." Sambutan suara yang sama seperti sebelumnya. Bukan, bukan suara laki-laki itu, melainkan sosok wanita paruh baya yang tengah duduk menyender sofa dengan tangan bersidekap, memandang Yuga tidak suka.
Oh, ayolah, kenapa lagi-lagi ada dia di sini?
"Dari mana jam segini baru pulang?" tanya laki-laki itu bernada yang masih dapat diterima.
"Latihan, Kak," jawab Yuga jujur.
"Masih kecil udah berani bohong? Nggak mungkin sampai jam segini. Sekolah mana yang membiarkan muridnya baru pulang malam gini?" Wanita itu lagi, selalu tertarik untuk ikut campur.
Yuga belum menjawab, seakan lebih ingin mengecek jarum jam di pergelangan tangannya dulu. Pukul enam lebih lima belas menit. "Jam sekolah berakhir pukul tiga di hari biasa. Yuga latihan setelahnya, ditambah jarak-"
"Omong kosong!"
Yuga tak melanjutkan.
Laki-laki yang berstatus sebagai kakak iparnya itu mendekat, menelisik wajah Yuga yang terang-terangan berani menatapnya datar. "Turunkan pandanganmu."
Yuga diam, sama sekali tidak tertarik untuk mengubah posisi.
Laki-laki itu tertawa, "Sudah mulai berani ternyata." Dia lantas mengangguk-angguk, menyadari kesombongan Yuga.
"Seharusnya, kamu sadar betapa beban kamu buat saya, Yuga," kata laki-laki itu menarik diri. "Tahu cara berterima kasih, kan?"
"Ya, Yuga tahu."
Laki-laki itu menyunggingkan senyum, dan Yuga cukup tahu apa maknanya.
"Yuga, kembali ke kamar!"
Suara itu mematahkan pandangan dua orang yang saling memusuhi.
Terjadi hening sejenak, sampai akhirnya Yuga merasa jika perkataan Sofia, kakak kandung dan satu-satunya keluarga yang tersisa itu menjadi jalan terbaik untuk mengakhiri segala pertengkaran malam itu, sebelum semakin besar seperti biasa.
Entah apa yang terjadi selepas kepergiannya dari ruang depan, Yuga memutuskan untuk tidak ikut campur. Kakaknya yang selalu melarang. Katanya, remaja seperti Yuga harus fokus belajar. Alasan yang klise untuk menyembunyikan banyak kebenaran.
Meski demikian, Yuga selalu berdoa kepada Tuhan yang penyayang, agar manusia-manusia kesayangannya selalu dalam keadaan baik. Sebab, mereka butuh senang untuk bisa hidup lebih lama.
Ia biarkan angin malam itu sejenak berhembus kencang menerpa pori-pori kulit. Ia hirup udara banyak-banyak, barangkali akan jadi lebih tenang. Seperdetik kemudian, ia mengangkat kepala, menyaksikan langit dengan taburan bintang di atas sana. Rupanya, malam ini bulan tidak sedang kesepian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...