Terima kasih sudah berkenan untuk melanjutkan! Semoga harimu akan baik selalu, ya? Semoga dengan hadirnya cerita ini, juga mampu menemani perjalananmu untuk mencapai harapan-harapanmu yang tinggi itu. Jangan khawatir, ada Garda yang menjadi tempat berkumpulnya kawan seperjuanganmu!
Semangat!
***
'Sama rata, samarasa, dan perihal kalah, kami sanggup mengakuinya.'
Hamparan dan gedung megah SMA Adhigana membuka peluang akan mimpi dan harapan-harapan dari sosok laki-laki yang kini tengah terduduk di salah satu bagian dari sekolah terbaik itu. Mata coklat terangnya sedang menatap sebuah spanduk berisi ucapan selamat di satu sisi jalan menuju pelataran Adhigana, yang menampilkan potret seorang laki-laki dengan pandangan tajam lurus ke depan.
"Satu tahun lagi akan ada yang di sana, menggantikan. Bisa jadi, lo salah satunya." Ammar berbisik, ikut menunjuk ke arah spanduk besar itu menggunakan sorot matanya.
Sedang laki-laki yang diajak bicara hanya sekilas tersenyum, lalu mengalihkan pandangan. "Satu tahun lagi terlalu jenaka untuk masa yang bisa jadi nggak ada kesempatannya, Mar," balasnya.
Dahi Ammar berkerut, meniti ucapan seseorang yang jadi ketuanya itu dengan seksama. "Bukannya harapan selalu punya peluang buat diwujudkan, Yug? Selama kita masih berdiri di atas kenyataan."
"Ya." Yuga mengangguk-angguk setuju. "Harapan memang selalu punya peluang untuk diwujudkan," ulangnya.
Terdengar helaan napas setelah Yuga mengatakannya, layaknya berat ucapan itu memengaruhi sebagian raganya yang merasa gusar tiba-tiba. "Tapi, nggak semua harapan bisa dimenangkan, Mar. Nggak semua harapan punya kesempatan buat diperjuangkan. Ada banyak alasan kenapa terkadang, kita pantang menceritakan sesuatu yang terlalu jauh."
Yuga menatap Ammar yang terlihat larut dalam kata-katanya. "Supaya ekspektasi nggak menghancurkan syukur, yang seharusnya jadi pilihan untuk apa pun hasilnya."
Siang itu, halaman Adhigana terlihat kering sebab terik yang semakin meninggi. Sayangnya, rindang pepohonan hanya berhasil menutup sebagian jalan beraspal di balik megahnya gerbang milik Adhigana. Sedangkan, pada sisi lapangan dibiarkan terbuka dengan hamparan rumput yang sedikit lebih tinggi baru-baru ini.
Dan meski terik selalu setia menunggu sekumpulan peran yang dijuluki para 'sahabat matahari', tetapi jiwa-jiwa mereka lebih penuh terhadap ambisi, berdiri dengan rasa saling memiliki, serta tidak mudah goyah pada sebatas rasa tidak nyaman.
Di posisinya sendiri, Yuga menyadari bahwa menjadi bagian dari Garda membuatnya mengerti bagaimana makna kebersamaan menjadi pilar dari sebuah kekuatan. Di atas semua keinginan para pemerannya untuk menang, dalam perkumpulan itu yang ada semua sama rata, sama rasa, dan justru itu kemenangan yang sesungguhnya. Begitu pula perihal kalah, perkumpulan itu tak segan mengakuinya.
"Coy! Siaga satu buat latihan hari ini!"
Sampai tiba-tiba, lamunan tentang Garda Adhigana mendadak lenyap sebab pekikan suara Ramdan yang sedang berteriak heboh setelah tiba di lapangan depan.
Yuga mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?" tanyanya serius, mengikuti ekspresi Ramdan. Bersamaan dengan hal itu, sekumpulan siswa yang berpakaian serba hitam juga turut menoleh penasaran.
Ramdan Wibisana, laki-laki kurus, berambut klimis, lengkap dengan tampang jenaka, dan bercita-cita menjadi seorang polisi itu dengan segera menggeser paksa posisi Ammar. "Coy, gue lihat ada motor Bang Vegan parkir di belakang!" adunya kepada Yuga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...